Sabtu, 24 Maret 2018

Malu yang Membinasakan

Pernah ga kamu ngerasa ada jarak antara kamu dan kerabat atau tetangga? Maksudnya tu gini. Kita malu mau nyapa duluan, segan mau chat duluan, ga berani mau berkunjung duluan. Bukan karena pengen mutusin hubungan silaturrahim, sama sekali bukan. Tapi murni karena malu.

Pernah ga kamu kayak gitu? Kalau aku sih jangan ditanya bos. Bukan pernah lagi, sering malahan.

Tapi kemudian malaikat tak bersayap yang biasa kupanggi ibu bilang gini "Bayangin kamu yang berada di posisi mereka. Kamu yang lagi pergi merantau. Kira-kira gimana rasanya saat ga satupun dari orang rumah yang berusaha menghubungimu? Ga satupun yang pengen tau kabar kamu?"

Gimana kira-kira nasib segumpal daging yang kau sebut hati itu akan menanggapinya? Biasa ajakah, atau binasa banget kah? Pasti, pilihan kedua jawabannya.


Pasti hatimu bakal sedalamnya merasa kecewa. Ga ada lagi yang peduli, ga ada lagi yang menanti, ga ada lagi yang merindui. Pasti itu yang terpatri dipikiranmu. Padahal nyatanya apa? Kami di rumah malu padamu, segan untuk memulai bertanya.

Nah, ya jadinya gitu deh. Kamunya di sana salah paham, kaminya di sini juga jadi serba salah. Makanya, malu itu harus ada tempatnya, kalau ga,bahkan malu bisa membinasakan. Ternyata.

Jumat, 23 Maret 2018

Kawan Lama

Hari ini kukedatangan kawan lama
Tanpa ragu kuberkata
Aku bahagia
Hingga tak sempat kumenyapa
Sebanyak biasanya

Tolong maklumi saja
Terimakasih sebelumnya

@di kamar sunyi ditemani ingus dan sahabat lama

Kamis, 22 Maret 2018

Mengistiqomahkan Rindu

Akhir-akhir ini tidur nyenyak kotoran telingaku sering terusik oleh adanya ungkapan 'rindu itu berat'. Kuyakin hal yang sama juga terjadi pada telingamu. Jika tak percaya, coba saja tanyakan. Tapi jangan di depan orang banyak, kutakut orang akan mengatai urat sarafmu putus nanti.

Kuakui, pepatah itu ada benarnya juga. Memang berat menahan rindu yang sejatinya entah berapa kilo beratnya. Jujur, jika ada yang tahu berapa kilo beratnya rindu, sudilah kiranya memberitahuku. Agar bisa kucarikan penawar yang sepadan dengannya. Agar para perindu di luar sana tak menderita sampai ke tulang menahan deritanya.

Tapi kemudian, seorang sahabat memberitahuku. Ternyata ada yang lebih berat daripada rindu. Kutahu kau terkejut, tapi tak usah selebar itu membuka mulut. Nanti lalat hijau malah tergoda untuk mampir.

Seorang sahabat pernah berkata begini "Bukan rindunya, tapi mengistiqomahkannya yang berat" ujarnya. Yang di aku terdengar seperti madu berlumur rawit dan merica. Manis tapi mengiris. Memukau tapi silau.

Benar sekali rupanya. Orang bisa dengan mudah merasai rindu. Aku juga. Kubertaruh, kau juga sama. Kendati begitu, tak banyak yang sanggup mengistiqomahkannya. Biarkan kubercontoh. Ketika kau kehilangan seorang sahabat yang sebut saja ditelan lubang cacing, melayang di segitiga bermuda, dan kemudian lenyap. Misalnya.

Kira-kira hari pertama kau rindu tidak? Ya pastilah. Hari kedua? Masih. Bulan pertama? Rindu. Makin rindu malah. Tahun pertama? Tetap rindu kok. Oke, dua tiga tahun kemudian? Ya masih, masih rindu. Baik. Aku mengerti rasamu. Aku juga pernah.

Kutanya dulu. Sepanjang dua tiga tahun itu kamu tak menafikkan bahwa ada orang baru di hidupmu kan? Mustahil rasanya jika selama kurun waktu itu kau hanya hidup dengan lalat hijau atau jangkrik malam. Apa kau sependapat? Nah, di tahap inilah keistiqomahan rindu mulai diuji. Saat di mana rindumu mulai diambil alih orang baru.

Bisa tidak kau memelihara rindu itu selama masa yang entah berapa lamanya. Sepuluh tahun mungkin, atau tiga puluh tahun, lima puluh atau bahkan mungkin seumur hidup? Kuyakin, tak banyak yang bisa. Pun aku sendiri meragukan diriku sekarang. Karena berat, berat sekali memelihara rindu. Mengistiqomahkannya maksudku. Dan ternyata. Aku baru sadar.

Waktu adalah pemilik kuasa sekarang. Dia yang secara perlahan akan mengikis rindu. Dia yang perlahan akan memudarkan warna rindu. Hingga akhirnya, kita bahkan tak ingat lagi. Bahkan tak merasai lagi. Maka kubersimpul. Bukan rindu yang berat. Tapi memeliharanya.

@di kamar sunyi, ditemani ingus dan hasrat untuk bersin yang menggebu.

Rabu, 21 Maret 2018

Sepasang Bola Mata

Hari ini kubelajar melihat mata. Menelisik jauh ke dalamnya. Entah bagaimana, mata adalah salah satu bagian paling istimewa. Ia bisa menguak kebenaran yang bahkan lebih jernih daripada padanan kata.

Hari ini kupandangi mereka. Ya mereka. Dua bola mata yg hampir-hampir tak mampu membendung anak sungai yg hendak menyeruak.

Saat dia bercerita, kulihat dua bola mata bundar nan hitam itu juga ikut bicara. Mereka begitu jujur. Bahkan air di dalam mataku juga penasaran ingin ikut mengintipnya.

Selasa, 20 Maret 2018

Perspective

Hari ini gue flu. Gue bener2 berharap dapet chat dari dosen bahwa besok beliau sibuk. Jadi ga bisa bimbing gue. Bimbing scriptsweet gue maksudnya. Tapi sayangnya, sampe sekarang, udah jam 8:27 PM tapi ga ada satupun chat dari dosen gue. Iyalah, secara beliau dosen terdisiplin yang pernah gue kenal. Dan FYI gue nge-fans banget sama dosen gue satu itu.

Oke, daripada postingan ini berakhir dengan curhatan ga jelas, mending kita mulai deh. Kali ini gue mau bahas soal perspektif. Apa yang ada dipikiran lu saat denger kata ini?

Cara pandang? Hmm.. boleh.
Pemikiran? Hmm.. bisa jadi.
Beda-beda per orang? Hmm.. ho oh.
Ya gitu deh lokoknya. Jawabannya kembali ke diri kita masing-masing.

Buat gue, perspektif itu adalah cara pandang kita terhadap sesuatu atau fenomena tertentu.

Misalnya nih, saat ini gue kan lagi flu nih ceritanya. Nah, seenggaknya ada dua nih perspektif yang bisa dibahas. Pertama, dengan gue flu, Allah punya alasan buat ngampunin semua dosa-dosa gue. Katanya kan gitu ya? Sakit itu adalah salah satu media paling gampang buat ngehapus lu punya dosa. Mudah-mudahan Allah bener-bener mau ngehapus dosa-dosa yang selama ini udah gue tabung secara sadar ato ga.

Perspektif kedua, dengan flu, gue jadi punya alasan buat malas-malasan. Malas bangun, malas bikin tugas, malas bimbingan. Terus yang paling penting, gue jadi punya alasan buat kangen kampung. Pulang ke rumah terdamai sepanjang masa. Ketemu ibu sama abah. Et dah. Apa banget yak? Orang cuma flu doang juga. Lagian kalau mau pulkam ya pulkam aja atuh. Orang cuma 3 jam doang.

Ya pokoknya gitu deh, gue ga tahu entah ini ada faedahnya ato kagak. Yang penting gue cuma pengen nulis. Udah itu aja. Dan sebenernya karena udah terlanjur janji sama adek kamar gue yang super duper ---- (maap yak gue sensor, pokoknya gitu deh, ceritanya kami lagi ada proyek one day one post gitu, dan ini baru hari kedua cuy. Lu doain aja supaya jangan sampe gue ngibarin bendera putih ke rival gue itu.) 😁

Minggu, 18 Maret 2018

Being A Teacher

Akhir-akhir ini aku sering diminta untuk ngajar. Ngajar bimbel di sebuah tempat di kawasan Gunung Pangilun, Padang. Rentangan anak didiknya dari murid Sekolah Dasar sampai murid Sekolah Menengah Pertama. Kamu tahu itu artinya apa? Yup!!! It will be fun.

Awalnya aku ragu buat nerima tawaran itu. Karena jujur aja, background-ku bukan dari pendidikan. Aku berkuliah di jurusan Sastra Inggris yang jauh dari kata ajar-mengajar. Tapi bolehlah, hitung-hitung nambah pengalaman. Toh, dulu sebelum dinyatakan lulus di jurusan ini, aku kan minatnya juga di PGSD. Sayang aja nggak jebol. Huhuu.

So, setelah beberapa hari ngejalanin profesi baruku, rasanya tu nano-nano. Ada manis, asem, asin, dan sedikit kelat. (Udah kayak apaa gitu ya?) Mereka nyenengin sih, asik juga. Mau nurut, rajin nabung dan nggak sombong. Eh! (Kok jadi meleber kemana-mana?)

Mereka juga ada yang nakal, pake bigittss malah. Saat aku ngejelasin pelajaran, dia malah ngaji. Ngaji baik kan ya? Tapi nggak pas lagi belajar atau ngebahas soal juga kalee. Jadi nggak kedengeran tuh suara yang kebagian baca soal plus jawabannya. Tapi ya udahlah ya. Namanya juga anak-anak.

Aku jadi kayak lagi bercermin. Jadi ngelihat diriku dari mata mereka. Seolah memori masa kecilku dipanggil lagi dan menguap lagi untuk segera diingat. Ini yang bikin aku nyaman menjadi seorang guru, terutama guru SD. Mata mereka itu jujur, mengisyaratkan rasa sedih, takut, malas dan bahagia dengan jujur. Nggak seperti kita orang dewasa. Kadang suka aneh.

Saat sedih malah ketawa, saat bahagia malah nangis. Saat benci sama orang malah ajak dia berteman terus nikam dari belakang. Saat sayang bat sama teman malah pura-pura nggak peduli. Apa maksudnya coba? Kalau sayang tuh ya diungkapin atuh, beliin dia makanan kek. Kunjungi rumahnya, ajak main bareng. Bener nggak??

#btw, itu foto saat meriksa kuku 😉

Senin, 12 Maret 2018

Fenomena Ojek dan Gojek

Pagi ini aku berangkat ngajar di salah satu tempat bimbel di kota Padang. Tempatnya cukup jauh dari Wisma, jadi kurasa ga berlebihan jika memakai jasa Gojek. Kabar angin yang beredar sih katanya Gojek nggak boleh masuk gang-gang karena itu merupakan wilayahnya Ojek. Jadi Gojek hanya bisa menaikkan penumpang di jalan raya aja. Well, itu katanya. Dan kamu tahu akulah, kalau belum ngebuktiin sendiri tuh rasanya gimanaa gitu.

Ya udah, aku pesan Gojek dan minta dia masuk ke gang alamat wismaku. Pas udah nyampe, baru aja mau ngegas, eh tetiba ada abang Ojek yang datang mendekat. Tak lupa dengan tampang yang sedikit kurang bersahabat. Awalnya cuman satu, terus datang satu lagi. Aku panik dong, takut mereka berantem atau apa gitu kan. Karena kudengar juga, Ojek dan Gojek sering bentrok akhir-akhir ini karena rebutan penumpang.

Akhirnya aku disuruh turun dulu, ditanya mau ke mana. Akupun bingung, ini baru ketiga kalinya aku ke tempat bimbel itu, karena emang posisiku cuma ngegantiin guru yang berhalangan aja. Apalagi katanya orang dengan golongan darah A cenderung lebih susah ngafal jalan. Itulah aku. Huhuu.

Akhirnya jujur menjadi satu-satunya pilihan. Kubilang aja kalau sejujurnya aku ga tahu persisnya dimana tempatnya. Nah, abang Ojek itu kebingungan juga akhirnya kan. Sesekali kulirik abang Gojek, dia udah pasrah. Tampangnya seolah bilang gini "Ya udah bang, aku ngalah aja. Kalau mau rebut penumpangku ya monggo." Gitu. Akhirnya aku naik Ojek dulu ke jalan raya, habis itu baru naik Gojek. Yup! Jadinya terpaksa bayar dua kali. Rempong kan?

Itu baru kronologis ceritanya. Selanjutnya yuk kita preteli kejadian ini lebih dalam. Aku pribadi sih ngelihatnya ada tiga sudut pandang. Pertama aku sebagai penumpang, kedua aku sebagai abang Gojek, ketiga aku sebagai abang Ojek.

Aku sebagai penumpang. Gimana rasanya? Ya elah, pake nanya bos. Ya udah pasti kezell lah. Mana pake acara di hadang pula. Udah macam tersangka maling ayam aja kita. Haha. Perasaan lain yang aku rasa pastinya takut dan khawatir. Bisa bayangin kan saat ada dua orang didekatmu yang adu mulut karena kamu. Iya, secara ga langsung kan itu karena aku ya. Karena mereka rebutan penumpang lebih tepatnya. Gimana jadinya kalau mereka saling adu jotos. Kan berabe! Terakhir, aku sebagai penumpang juga ngerasa dirugiin. Karena mesti dua kali bayar. Harus pake Ojek dulu baru bisa pake Gojek. Duhh.. ribet! Sementara sejatinya, aku sebagai penumpang punya hak kan mau milih yang mana. Jika pelayanan Gojek memang lebih baik, otomatis aku lebih milih Gojek. Begitu juga sebaliknya. Kurasa semua penumpang juga berpikiran sama.


Aku sebagai abang Gojek. Duh, ngerasa miris aja. Kita kan sama-sama cari nafkah ya. Dan rezeki itu Allah yang ngatur. Jika penumpang pengen make Gojek ya berarti itu rezekinya Gojek. Lagian bukankah tujuan keduanya sama; melayani penumpang dan mengantar mereka ke tempat tujuan dengan selamat. Kami juga ga pernah maksa mereka buat makai jasa Gojek, tapi mereka sendiri yang memilih. Itu artinya, ada sesuatu yang lebih yang kami tawarkan. Keramahan pada penumpang misalnya, keefektifan mencari alamat misalnya, atau kesesuaian tarif. Harusnya bukan malah berseteru, Ojek harusnya meniru hal-hal baik yang kami tawarkan dan bersikap dewasa. Toh, kalau jaraknya dekat penumpang juga bakal naik Ojek kok, kalau jauh aja mereka lebih sering milih Gojek. Dan sekali lagi, itu kan hak penumpang dan juga rezeki masing-masing. Jadi ga perlu pake pencegalan kayak gini, seolah kami para Gojek ini telah melakukan penyelewengan atau apa gitu kesannya. Kami hanya berdoa mudah-mudahan suatu hari nanti hubungan Ojek dan Gojek bisa membaik, karena kita saudara kan sebenarnya.


Aku sebagai abang Ojek. Aku tahu sebagian besar orang yang melihat fenomena ini lebih cenderung berpikir bahwa kami para Ojek inilah yang jahat. Kami sok berkuasa dan melarang Gojek masuk gang. Tapi coba lihat dari sisi kami juga. Toh kami tidak menghalangi Gojek di jalan raya kan. Kami hanya menghalangi masuk gang karena memang hanya itu peluang kami sekarang. Kita sama-sama sadar kan, kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan Gojek sekarang daripada Ojek. Jika kami juga membiarkan Gojek masuk ke gang, lantas darimana kami bisa mendapat penghasilan? Sementara kami juga butuh nafkah untuk menghidupi anak dan istri di rumah. Jadi kami berharap, semua pihak agar bisa bijaksana menyikapi peraturan yang telah disepakati ini, sehingga semua pihak tidak saling dirugikan.


Wokeeehh, balik lagi ke aku ya. Ini aku yang asli sekarang. Hehee. Jujur, aku lebih memilih Gojek itu karena pertama alamatnya jelas, terus tarifnya juga jelas, dan drivernya juga lebih ramah. Tapi untuk tujuan yang dekat seperti ke kampus misalnya, aku masih suka make Ojek kok, karena lebih praktis. Ketemu di jalan langsung tancap gas. Hahaa.

So, buat Gojek dan Ojek, akur-akur aja lah. Rezeki ga ke mana kok, kalau bersitegang mulu, ga cuma kalian yang rugi, kamipun juga rugi. Ketakutan, ga nyaman, dan jadi bayar dua kali.. Well, let's spread love and peace!! ✌

Kamis, 08 Maret 2018

Hubungan

Apa kata pertama yang terpikir olehmu saat mendengar kata "hubungan"? Kalau aku sih satu kata, unik.

Yup! Menurutku segala macam jenis hubungan itu unik. Ia baru bisa dikatakan hubungan saat kita menjalaninya dengan intens. Dan ia baru bisa berkembang jika kita berhasil menciptakan konflik dan menyelesaikannya kembali; bersama.

Kali ini kumulai dengan hubungan persahabatan. Hubungan persahabatan itu unik. Ia ga butuh peresmian atau ungkapan formal lain. Ia cuma butuh dijalani dan dinikmati. Kita ga bisa menilai bahwa seseorang adalah sahabat kita sebelum menjalani banyak hal bersamanya.

Senyum bareng, ketawa ngakak bareng, gaje bareng, sok sibuk bareng, sok imut bareng, selfie bareng. Tapi ga hanya itu. Belum sahabat namanya jika kita belum nangis darah bareng 😱, mewek bareng, hadepin masalah bareng, nyari solusi bareng, dan akhirnya lega bareng.

Coba deh kamu ingat lagi, kira2 gimana awal ceritanya sampai kamu bisa sahabatan ama seseorang? Pasti salah satunya ada diantara kegiatan bareng yang kusebutkan tadi.

Jika semua itu udah dilewatin bareng, nah sekarang saatnya buat bilang bahwa dia adalah sahabatmu. Satu hal yang harus dilakukan setelahnya, pastikan bahwa kamu bersahabat dengan orang yang benar. Yang akan selalu mengajak pada kebaikan. Karena sahabat adalah cerminan diri kita.

Jika sahabatan sama kambing hutan (anti mainstream), kita juga bakal kena bau amisnya. Kalau sahabatan sama bunga mawar, kita juga bakal ketularan wanginya. Pada setuju kan? 😉

Rabu, 07 Maret 2018

Jodoh dan Ikat Rambut

Hari ini kubelajar tentang hal baru. Kata orang jodoh itu tak ke mana. Selama ini aku berusaha untuk percaya, walau terkadang hatiku menafikkannya. Tapi hari ini aku mulai yakin. Benar memang. Jodoh itu tak ke mana. Ia akan Allah pertemukan dengan cara dan skenario yang tak diduga.

Jadi gini ceritanya.

Sepagi ini, aku kedatangan tamu, dia orang Pesisir, aku orang Bukittinggi. Aku bahkan tak kenal dengannya, dia juga. Nah, jadi dia ini adalah teman dari kakak abang iparku. Ribet kan? Iya jadi gini, aku kan punya kakak, nah dia kan punya suami. Suaminya ini punya kakak juga. Nah teman kakaknya itulah yang berjodoh denganku. Maksudku bukan jodoh dalam artian "ke arah sana" ya. Dia perempuan soalnya. Hehe

Jadi gini, dia ada keperluan datang ke Padang, nah dia numpang nginap lah di wismaku. Terus dia minjam ikat rambutku, karena katanya lupa bawa. Dan aku kasih. Nah di sana poinnya. Ikat rambut itu intinya.

Pasalnya, aku mendapatkan ikat rambut itu dari seorang teman, namun tak pernah kupakai. Bukan apa-apa. Ikat rambut itu terlalu kedodoran untukku, apalagi tempo hari rambutku sering berguguran. Biasalah, efek skripsweet yang masih belum kelar. Miris pemirsah.

Jadi maksudku, kalau jodoh memang tak ke mana. Ikat rambut itu sudah lama ada padaku, tapi karena memang ga berjodoh denganku, akhirnya ia pergi dariku. Ia pergi menemui jodohnya. Begitulah skenario Allah, tak pernah terpikirkan, tak terduga, dan penuh misteri.

Sekarang kuyakin, jodoh memang tak akan pernah tertukar. Aku pasti akan dipertemukan dengan jodohku nanti, begitu juga dengan kau. Jadi, tak perlulah kiranya dari sekarang memulai pendekatan dengan orang asing yang belum tentu akan menjadi jodoh kita. 😉