Minggu, 11 November 2018

Cerita Pertama di Perguruan Islam Arrisalah

Mari mendekat. Biar kuceritakan pengalaman haru minggu lalu. Pengalaman yang membuat mata hati terusik dan tertusuk. Kota Payakumbuh. Lebih kurang seminggu lamanya aku dan teman-teman menghabiskan hari di kota itu. Mukhoyyam Qur'an. Begitu kami menyebut nama acaranya. Inti dari acaranya adalah menumbuhkan kecintaan pada Al-Quran, menghabiskan hari bersamanya, menghafalkan dan mentadaburinya. Berhubung tokoh utamanya bukan aku, maka tak perlulah berlama-lama membahas tentang acara ini. Tokoh utama yang akan kukenalkan padamu kali ini adalah seorang sepuh yang kami panggil Oma. Kubilang sepuh karena memang usianya sudah tak muda lagi. Kalau tidak salah sekitar 79 tahun. Melebihi tiga lipatan usiaku.

Oma adalah ibu mertua dari Ustadz yang mengajar kami di pesantren. Kebetulan acara Mukhoyyam ini diadakan di rumah sang Oma. Jadi, semacam karantina gitu, siang malam kami habiskan hari bersama Al-Quran. Menghafalkannya kemudian menyetor ke pembina. Start dari jam 3 pagi sampai jam 10 malam, tentu saja dengan break ishoma (baca: istirahat sholat makan) plus kegiatan mandiri. Bahkan kami dikasih waktu wajib untuk tidur siang. Sungguh bagus acaranya.

Seperti kataku tadi, yang sangat menarik adalah kehadiran sang Oma yang bertugas sebagai tuan rumah kami selama di sana. Sungguh luar biasa semangat perempuan itu. Tiap hari beliau selalu membantu Umi (istri ustadz) untuk menyediakan makanan untuk kami. Pagi, siang malam beliau tak pernah absen. Selalu ambil bagian dalam menyelesaikan ini itu.

Pernah sore itu, saat seseorang di antara kami melihatnya di dapur. Oma sedang sibuk dengan wajan dan sabun cuci di tangannya. Lihatlah jawabannya saat kami mencoba menawarkan bantuan. Begini ujarnya "Ndak apa nak, biar Oma saja. Kalian teruskanlah menghafal, izinkan Oma ikut menerima aliran pahala dari setiap huruf yang kalian baca." Kalimat itu begitu sederhana, tapi sungguh dalam isinya. Sungguh kalimat indah yang membuat haru.

Pernah juga, pas kami sedang sholat maghrib, tetiba listrik mati. Tak lama setelah itu, Oma segera meracak sepedanya dan kemudian kembali membawa dua buah senter. Entah ke mana ia mencari senter itu. Takutnya lampu kembali mati, sehingga membuat kalian susah pergi berwudhu ke kamar mandi, katanya menerangkan.

Sungguh malu kami pada semangatnya. Di usia senjanya, ia bahkan nampak lebih bersemangat daripada kami-kami yang masih muda. O iya, aku baru ingat. Pernah juga waktu itu seneo airnya bermasalah, jadi air tidak bisa dinaikkan dari sumur. Kami terpaksa harus menimba dengan ember agar bisa menggunakan airnya. Sayangnya ember tidak cukup karena jumlah kami juga tidak sedikit. Begitulah Oma, tanpa berpikir panjang dia segera mengayuh sepedanya, dan kembali bersama tiga ember tambahan, lengkap dengan tali yang sudah terpasang pada masing-masingnya. Sungguh iri aku pada perempuan itu.

Saat penutupan acara Mukhoyyam, Oma meminta izin pada ustadz -yang tidak lain adalah menantunya sendiri- untuk berbicara sepatah dua patah kata pada kami. Dia memulai dengan salam. Kemudian, sunyi. Kami menunggu dengan hidmat sebagai tanda bahwa kami siap mendengarkan wejangan-wejangan darinya. Tapi kau tau kawan, bukan kalimat atau bahkan kata yang ia lontarkan. Tapi air mata. Ya, hal pertama yang ia lakukan setelah memberi salam adalah menangis, terisak-isak hingga membuat kami juga ikut larut dalam tangisan.

Setelah cukup mampu mengusai diri, kemudian ia mulai mengatur napas untuk memulai berbicara. "Waktu terasa cepat berlalu, tidak terasa sudah hampir mendekati satu abad hidup Oma. Tahun yang lalu tak bisa di jemput kembali, setiap kelalaian masa lalu tak bisa disesali lagi. Oma merasa sangat beruntung karena kalian berada di sini, membaca dan menghafal ayat suciNya. Oma merasa sangat terhormat karena bisa melayani kalian di sini." Ujarnya sambil terus menahan isakannya. Dari ceritanya yang kemudian dibenarkan oleh Umi, ternyata Oma bahkan belum mampu menghafalkan surat Al-Lahab dengan fasih. Tapi bukan itu poinnya, melainkan semangat dan kegigihannya. Di sela isak tangisnya, ia melanjutkan "karena belum mampu menghafalkan ayat yang panjang, Oma sering mengulang ayat sebanyak tiga kali atau lebih. Misalnya surat Al-Ikhlas, Oma baca berulang-ulang dalam satu rakaat sholat. Begitulah cara Oma agar bacaannya bisa panjang. Dan sekarang Oma sedang menghafal surat Al-Lahab. Memang susah rasanya, tapi Oma sedang megusahakan. Toh tidak ada kata terlambat bukan? Bukankah menuntut ilmu itu dari ayunan sampai ke liang lahat?" Kata-kata itu seolah menamparku tepat di wajah kiri dan kanan.

Sudah sedemikian kami difasilitasi untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran, masih saja lalai. Usia masih muda, ingatan masih kuat, beban pikiran belum ada, tapi kenapa semangat kami malah kalah dengan semangatnya Oma. Saat tiba di ayat yang sulit misalnya, pikiran untuk menyerah segera bermunculan. Padahal tengoklah Oma, bahkan surat Al-Lahab yang hanya lima ayat itu saja begitu sulit ia taklukkan, tapi tak pernah ada kata menyerah yang terlontar. Terimakasih karena 'tamparanmu' Oma.

Jumat, 24 Agustus 2018

Hantu

Dia mulai menjadi hantu. Entah sejak kapan aku tak ingat. Yang jelas sekarang hantu itu sudah agak sedikit berani mengusikku. Terutama saat tidur. Ya, dia datang dan mengerayangi mimpiku. Membuat tidurku tak selelap dulu.

Ah, kenapa lemah sekali imanku? Bukankah sudah berkali-kali begini? Kenapa masih saja belum pandai aku meracik obatnya?

Ah hantu, tolong enyahlah dulu. Biarkan aku mengepompong sedikit lebih lama. Jika saatnya tiba nanti, kau bolehlah mencoba datang lagi. Bahkan bukan sekedar lewat mimpi. Apa cukup bisa dimengerti?
🌹
🌹
-v3

Jumat, 22 Juni 2018

Tak kusangka. Ternyata aku sesensitif ini.

Saat ketidakberdayaanmu dijadikan dasar oleh orang lain untuk berlaku kasar padamu. Ketika itulah hatimu akan luka. Ya, rasanya perih.

Jika tiada keikhlasan untuk membantu, jika memang permintaan itu terasa sangat mengganggu, maka biarlah. Tak apa jika memang tak bersedia membantu. Tak mengapa jika harus kuusahakan sendiri semampuku.

Tapi tolong, jangan lukai hati ini dengan menunjukkan kekuatan dan memperjelas ketidakberdayaanku. Di sisi lain, bahkan untuk meneteskan air mata ini, aku harus sembunyi. Agar apa? Agar tak ada yang menertawai.

Tak bisakah aku memiliki ruang untuk mengekspresikan rasa ini? Kumohon. Sejenak saja. Sejenak saja tolong biarkan aku mengobati luka ini. Sendiri.

Sembunyi

Salah satu cara untuk melindungi hati yang sedang terluka adalah dengan bersikap sinis, tak acuh dan tak peduli. Jika kau temui orang seperti itu, jangan langsung menilainya buruk, apalagi membencinya. Sungguh jangan. Karena kau tak tahu, luka apa yang sedang coba ia sembunyikan.

Senin, 30 April 2018

Bangkai Munafik

Malam ini kubersyukur tiada kira. Allahku, terima kasih karena selalu sudi memanggilku lagi, lagi dan lagi. Menyapa kala hati mulai perlahan menjauh dari-Mu. Terima kasih karena masih sudi memberi bangkai munafik ini kesempatan untuk kembali. Memberi kesempatan untukku bisa sadar bahwa haluan kapalku telah jauh membelakangi-Mu. Terima kasih karena bangkai munafik ini masih Kau jaga melalui lisan-lisan mereka yang mulia.

Alangkah malang jika aku tak dipertemukan dengan orang-orang semacam mereka. Alangkah malang jika dulu aku memilih mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu untuk menjadi anak kuliahan kekinian. Dipenuhi huru-hara dan persaingan zaman yang tak berkesudahan.

Terima kasih Allahku. Terima kasih karena menyesatkanku di jalan yang benar. Terima kasih karena memperkenalkanku dengan perempuan berjilbab lebar yang kata orang mungkin terlihat sedikit lebai. Tapi di sinilah aku kini. Berbaur dengan mereka, menerima nasihat surga dari tutur lembutnya. Dan pada akhirnya, mengantarku untuk kembali memutar haluan kapalku. Memutar 180 derajat hingga tepat mengarah pada cahaya-Mu.

Baik. Akan kucoba sekali lagi. Ah tidak. Bahkan dua, tiga, atau mungkin seratus kali lagi. Sungguh, tak apa! Meski harus tertatih, kapal ini tak boleh berbelok lagi. Mohon bantulah ya Allah. Tak apa jika Kau beri riak gelombang sebagai teman. Sebagai pengingat bahwa jalan ini tak akan mudah. Tapi, jika boleh kumeminta, tolong jangan terlalu kuat. Karena aku belum percaya pada diriku sendiri.

Kamis, 26 April 2018

Hurt

Dan kini, luka itu masih pedih. Saat korneaku tak bisa berpaling ke arah lain selainnya, tapi aku bisa apa. Ruang itu kiranya terlalu luas untuk menggenapkanku dannya. Jangan bilang kutak pernah berusaha. Sudah, sungguh sudah kulakukan. Tapi memang berat, mau bagaimana lagi. Kadang hati memang suka seenaknya sendiri.

Minggu, 08 April 2018

Fragile

Ini adalah kali ketiga aku down banget. Bener-bener sendiri. Jika ku tak salah, kali pertama aku merasai ini adalah saat semester empat perkuliahan, lebih tepatnya saat aku menjadi ketua di wisma. Wisma adalah semacam asrama untuk mahasiswi, namun bernuansa Islami yang sangat kental.

Entah karena memang masih kecil dalam artian belum bijak menyelesaikan permasalahan, atau memang karena penyaluran semangat yang terlalu berlebihan, hingga cara kepemimpinanku waktu itu banyak ditentang oleh anggota wisma. Mereka tidak suka dengan gaya kepemimpinanku. Yang membuatku merasa benar-benar sendiri adalah karena yang menentang bukan hanya teman sebaya atau adik kelasku, tapi juga senior-senior. Kuharap waktu itu, jika memang ada yang salah dari caraku, ada lah yang berbaik hati memegang tanganku dan mengajari bagaimana memimpin. Karena jujur, itu pertama kalinya buaku. Sebelumnya aku terbiasa hanya menjadi penonton, bukan pemain. Benar-benar berat semester itu kulalui. Tapi untunglah, aku tetap bisa bertahan. Dengan sedikit tersengal mencoba menata diriku, dan menguatkan hati yang rapuh itu. Hingga akhirnya aku bisa menghadirkan senyumku lagi.

Kali kedua, adalah saat dua orang sahabat karibku pergi menghilang. Tak apakan jika kutak menyebutkan nama? Aku hanya takut rindu itu kembali lagi mengusikku. Kejadian itu terjadi di semester tujuh perkuliahan. Aku dan mereka sudah sangat dekat, bahkan sudah seperti saudara kandung. Bagaimana tidak, dari awal berkuliah, aku sudah sekelas dengan mereka. Dan tak berapa lama kemudian juga aku sewisma dengan mereka. Tahun demi tahun kami lewati bersama. Pergi ke kampus bareng, ngerjain tugas bareng, ke pantai bareng ngelepas suntuk selama perkuliahan, ketawa ketiwi bareng, sholat jamaah bareng, makan bareng, masak bareng. Pokoknya hampir semua pekerjaan kami kerjakan bareng-bareng.

Tetiba masalah menimpa mereka. Mereka terkendala dalam hal ekonomi. Sebenarnya  yang menbuatku makin terluka adalah saat aku bahkan tak tahu apa-apa. Aku hanya tahu kenyataan bahwa mereka akan pergi, yaitu saat keputusan untuk berhenti kuliah sudah sangat bulat mereka buat. Rasanya langit mau runtuh menimpa badanku yang tak seberapa ini. Berurai tangis kukeluarkan melepas kepergian mereka. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan saat itu. Tapi kembali, pada akhirnya aku bisa bangkit dan menemukan senyumku sekali lagi.

Dan sekarang. Sekarang adalah saat-saat dimana kejadian beberapa tahun lalu harus terulang kembali. Aku tahu, semakin besar pohon maka semakin kencang juga angin yang menerpanya. Aku sering dengar pepatah bijak itu. Kuanggap saja demikian juga halnya dengan diriku sekarang. Entah perumpamaan itu cocok atau tidak.

Aku adalah satu di antara dua senior yang masih bertahan di wisma ini. Karena memang aku masih memperjuangkan gelar sarjanaku. Beda dengan sahabatku -yang ini beda lagi, bukan dua sahabat yang kuceritakan tadi- ia telah berhasil memperoleh gelar sarjananya. Saat ini dia masih memilih untuk bertahan di wisma karena ingin menemaniku hingga selesai. Terharu aku dengan ketulusannya.

Tapi kemudian, kenyataan yang kutakutkan akhirnya datang juga. Dia harus pindah dari wisma karena orangtuanya yang tidak lagi memberi lampu hijau. Sebenarnya aku tahu bahwa selama ini pernah beberapa kali orangtuanya menyuruh pindah, namun masih bisa dilobi sehingga ia masih diperbolehkan bertahan. Namun sekarang, nampaknya tak ada lagi lobian yang berhasil. Karena kondisinyapun juga sudah tak mendukung. Keputusan akhir sudah bulat dan satu-satunya sahabat sebayaku di rumah ini akan segera pergi meninggalkanku sendiri. Ya, sendiri.

Aku tahu aku begitu cengeng. Karena selalu saja tak mampu menghadapi kenyataan. Tapi sendiri di sini, adalah berarti menanggungjawabi adik-adik yang jumlahnya tidak sedikit. Mulai dari amalan ibadah mereka, kesehatan mereka, prestasi akademiknya, dan yang paling berat, menanggungjawabi perasaan mereka agar bertahan di sini. Agar mau terus berjuang menegakkan dakwah di kampus kami. Akankah aku sanggup? Selama ini bahkan aku sering tertatih menghadapi ini walau sudah berdua dengan sahabatku. Tapi sekarang aku harus sendirian.

Tapi tak apa. Aku harus bijak menyikapi ini. Bukankah disetiap kehilangan akan selalu ada yang datang? Bukankah bersama satu kesulitan akan muncul dua kemudahan? Aku yakin saat ini Allah sedang sangat mencintaiku, hingga diuji-Nya aku dengan ujin ini. Aku harus mensyukuri ini, karena itu artinya Allah masih memperhatikanku. Mungkin saja Allah sedang mencemburuiku karena selama ini lebih sering mengharapkan pertolongan manusia ketimbang pertolongan-Nya. Baiklah, sepertinya aku mulai paham.

Sekarang aku akan bertahan lagi. Sama seperti dulu saat kali pertama dan kedua aku merasakan ini. Tak masalah jika sekali lagi harus kembali merasakannya. Toh, permata butuh di asah untuk bisa bersinar dengan indah. Kuharap akupun juga begitu. Bismillah.

Kamis, 05 April 2018

Seni Bersedih

Kata orang, menulislah saat hatimu sedang tak enak. Dulu kutak percaya. Tapi sekarang sudah. Aku sudah percaya.

Entah kenapa, daya imajinasi dan kreativitas otak kita memang cenderung mengalir deras kala hati sedang tak enak. Seketika ada banyak kosa kata yang terlintas. Seketika ada banyak hal yang ingin diulas.

Seperti sekarang misalnya. Ada sesuatu yang terjadi kemarin, yang membuat suasana hatiku agak terusik. Tak perlulah kuceritakan di sini karena hanya akan menambah pelik suasana hatiku.

Kenyataan demi kenyataan yang kudapati, sukses membuat batinku terusik. Ada hal yang rasanya ingin dikeluarkan. Sesuatu semacam cairan mungkin. Yang biasanya mengalir dari ujung bagian dalam kedua bola mata.

Tapi kemudian, ia urung. Aku paling benci suasana ini. Jika memang harus menangis maka menangislah saja. Tapi dia malah tertahan dan enggan untuk keluar. Sementara dari dalam diriku terlanjur ada dorongan luar biasa yang menyuruhnya keluar. Ah, sangat menyebalkan.

Rasanya seperti saat kau ingin teriak sekencang-kencangnya tapi harus kau tahan karena sedang ada rapat penting dengan petinggi. Terserahlah petingginya petinggi apa. Bisa terbayangkan situasinya?

Dan kemudian, inilah yang bisa kulakukan. Memuntahkan semua rasa lewat kata-kata apa saja yang berseliweran di benakku saat ini. Rasanya lumayan. Mengurangi gundah hati walau hanya seinci.

Pelik

Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Rasanya semakin ke sini aku semakin tak kenal dengan diriku. Kurasa aku sedang berada dalam tubuh yang asing. Sedang dikendalikan oleh jiwa lain.

Pernah ga kamu ngerasain hal yang sama? Saat-saat di mana rasanya ada sisi lain dari dirimu yang mengambil kendali atasmu? Saat di mana kamu ingin berhenti tapi sisi lain itu terus memaksamu untuk maju. Dan dengan semua ketidakberdayaanmu akhirnya kamu ikuti, dan terus kau ikuti.

Hingga akhirnya kau merasa langkahmu sudah aneh. Area ini sudah asing. Aku tak yakin kau bisa paham. Tapi memang semuanya pelik seperti ini, tolong dimengerti karena aku juga tak pandai menjelaskannya.

Saat aku kembali menguasai diriku, rasanya ada yang aneh. Ada seutas sesal yang terasa. Mengapa aku mau mengikutinya? Mengapa aku bisa sampai sejauh ini meninggalkan jatiku? Dan kemudian pikiran-pikiran untuk kembali mulai mengerubungiku.

Sekarang di sinilah aku. Sedang berusaha mati-matian untuk menentukan, ke mana arah yang harus kutuju. Berbalik arah atau malah maju menerobos segala kemungkinan yang ada di depan sana. Ah, semakin kemari semakin pelik saja. Kurasa cukup untuk sekarang. Aku tak mau benang kusut itu semakin ber-sjjdampwepsjfwjdjfkkaks.

Untuk sementara, beban kepalaku sudah sedikit berkurang karena sudah tertumpah di kedua ujung ibu jari yang dengan lincahnya menari di atas kotak-kotak alfabet ini.

Senin, 02 April 2018

Bahagia Sederhana

Rupa-rupanya bahagia memang sederhana. Cukup dengan hal-hal receh yang sepertinya tak berarti apa-apa. Kemarin misalnya. Tetiba dua gadis kecil yang tak lain adalah ponakanku sendiri, datang menghampiri.

Mereka menyembunyikan sesuatu di belakang punggung kecilnya. Jika boleh jujur, sebenarnya aku bisa melihat apa yg mereka sembunyikan lantaran memang tak berhasil tersembunyi dengan sempurna. Kuharap kau bisa maklum, mereka memang baru berkenalan dengan bangku sekolah dasar. Baru kemaren berhenti menyusu. Paham maksudku kan?

Aku bertanya "Apa itu Nak?"
Mereka malu-malu berkata "Hadiah buat Ante" Iya, dalam bahasa Minang, sebutan untuk tante diringkas jadi ante.

Seketika mereka mengeluarkan apa yg sedari tadi berusaha disembunyikan. Wajah mereka memperlihatkan kombinasi perasaan bahagia dan malu. Mungkin karena ini adalah salah satu hal sangat istimewa yg pernah mereka lakukan.

Tentu saja aku langsung mencoba bekerja sama. Kupasang wajah tersurprise yang bisa kutunjukkan. "Waahhh, indah sekalii. Benarkah ini buat ante?" Ujarku dengan mata berbinar. Mereka mengangguk dan terlihat puas dengan responku.

Biar tak penasaran, biar kugambarkan penampakan benda yang mereka sebut hadiah itu. Benda itu terdiri dari susunan stik es krim yang dilem membentuk persegi empat. Berdempet satu dan yang lainnya. Lapisan kedua mulai agak berantakan, agak miring kian-kemari. Lapisan ketiga sudah tidak rata lagi, di beberapa bagian kayu stiknya terlalu banyak hingga tebalnya jadi tak rata. Kemudian terciptalah segi empat tidak rata.

Setelahnya, mereka menempel kertas warna biru mengkilat dengan guntingan berbentuk gambar hati. Awalnya aku tak paham gambar apa itu. Karena bentuknya jelas abstrak. "Ini kupu-kupu juga?" Ujarku. Kebetulan sisi lainnya terdapat satu kupu-kupu berwarna merah mengkilat. Yang ini aku bisa tebak karena memang agak mirip.

Tapi tidak dengan kertas biru itu. Terlalu gemuk untuk seekor kupu-kupu. Tapi aku tak yakin untuk menyebutnya bola, terlalu jauh untuk dipanggil sebuah bola. Kemudian mereka menjawab. "Bukan, itu love" ujar salah satunya.
"Ohh.. wahh cantik sekali" Kuulangi lagi sandiwaraku.

Di bagian tengah, sebagai sentuhan akhir, terdapat sebuah bintang dengan banyak sisi, hingga terlihat seperti bunga. Tapi yang ini bagus, kuyakin bukan tangan mungil mereka yang merakit. Mungkin minta tolong sama ibunya.

Hanya itu. Kira-kira imaginasimu sudah terpancing belum untuk menampilkan bentukan benda itu? Kalau belum, maaf, aku tak punya bahan lagi untuk membantumu. Karena memang hanya itu yang mereka ciptakan. Oh iya, ngomong-ngomong itu lemnya belum kering, masih nampak bagian putih putih dari lem yang terlalu tebal dioleskan.

Aku terus memuji mahakarya mereka. Kemudian mereka mengambil dari tanganku dan berkata "Biar kami keringkan dulu, setelah dijemur, baru kami kasihkan ke ante ya." Ucapnya hampir bersamaan.

***

Bukan tentang bendanya. Kuyakin kalian bisa bayangkan gimana abstraknya benda yang mereka sebut hadiah itu. Tapi buatku.... Sama. Abstrak juga. Hehe.

Poinnya bukan itu. Aku merasa hangat. Ya. Hatiku terasa hangat menerima hadiah itu. Jika kau yang alami, kuyakin kau akan mengerti rasanya.
"Makasih naaak" ujarku sumringah tingkat dewa.

Siang itu, aku bahagia.

Sabtu, 24 Maret 2018

Malu yang Membinasakan

Pernah ga kamu ngerasa ada jarak antara kamu dan kerabat atau tetangga? Maksudnya tu gini. Kita malu mau nyapa duluan, segan mau chat duluan, ga berani mau berkunjung duluan. Bukan karena pengen mutusin hubungan silaturrahim, sama sekali bukan. Tapi murni karena malu.

Pernah ga kamu kayak gitu? Kalau aku sih jangan ditanya bos. Bukan pernah lagi, sering malahan.

Tapi kemudian malaikat tak bersayap yang biasa kupanggi ibu bilang gini "Bayangin kamu yang berada di posisi mereka. Kamu yang lagi pergi merantau. Kira-kira gimana rasanya saat ga satupun dari orang rumah yang berusaha menghubungimu? Ga satupun yang pengen tau kabar kamu?"

Gimana kira-kira nasib segumpal daging yang kau sebut hati itu akan menanggapinya? Biasa ajakah, atau binasa banget kah? Pasti, pilihan kedua jawabannya.


Pasti hatimu bakal sedalamnya merasa kecewa. Ga ada lagi yang peduli, ga ada lagi yang menanti, ga ada lagi yang merindui. Pasti itu yang terpatri dipikiranmu. Padahal nyatanya apa? Kami di rumah malu padamu, segan untuk memulai bertanya.

Nah, ya jadinya gitu deh. Kamunya di sana salah paham, kaminya di sini juga jadi serba salah. Makanya, malu itu harus ada tempatnya, kalau ga,bahkan malu bisa membinasakan. Ternyata.

Jumat, 23 Maret 2018

Kawan Lama

Hari ini kukedatangan kawan lama
Tanpa ragu kuberkata
Aku bahagia
Hingga tak sempat kumenyapa
Sebanyak biasanya

Tolong maklumi saja
Terimakasih sebelumnya

@di kamar sunyi ditemani ingus dan sahabat lama

Kamis, 22 Maret 2018

Mengistiqomahkan Rindu

Akhir-akhir ini tidur nyenyak kotoran telingaku sering terusik oleh adanya ungkapan 'rindu itu berat'. Kuyakin hal yang sama juga terjadi pada telingamu. Jika tak percaya, coba saja tanyakan. Tapi jangan di depan orang banyak, kutakut orang akan mengatai urat sarafmu putus nanti.

Kuakui, pepatah itu ada benarnya juga. Memang berat menahan rindu yang sejatinya entah berapa kilo beratnya. Jujur, jika ada yang tahu berapa kilo beratnya rindu, sudilah kiranya memberitahuku. Agar bisa kucarikan penawar yang sepadan dengannya. Agar para perindu di luar sana tak menderita sampai ke tulang menahan deritanya.

Tapi kemudian, seorang sahabat memberitahuku. Ternyata ada yang lebih berat daripada rindu. Kutahu kau terkejut, tapi tak usah selebar itu membuka mulut. Nanti lalat hijau malah tergoda untuk mampir.

Seorang sahabat pernah berkata begini "Bukan rindunya, tapi mengistiqomahkannya yang berat" ujarnya. Yang di aku terdengar seperti madu berlumur rawit dan merica. Manis tapi mengiris. Memukau tapi silau.

Benar sekali rupanya. Orang bisa dengan mudah merasai rindu. Aku juga. Kubertaruh, kau juga sama. Kendati begitu, tak banyak yang sanggup mengistiqomahkannya. Biarkan kubercontoh. Ketika kau kehilangan seorang sahabat yang sebut saja ditelan lubang cacing, melayang di segitiga bermuda, dan kemudian lenyap. Misalnya.

Kira-kira hari pertama kau rindu tidak? Ya pastilah. Hari kedua? Masih. Bulan pertama? Rindu. Makin rindu malah. Tahun pertama? Tetap rindu kok. Oke, dua tiga tahun kemudian? Ya masih, masih rindu. Baik. Aku mengerti rasamu. Aku juga pernah.

Kutanya dulu. Sepanjang dua tiga tahun itu kamu tak menafikkan bahwa ada orang baru di hidupmu kan? Mustahil rasanya jika selama kurun waktu itu kau hanya hidup dengan lalat hijau atau jangkrik malam. Apa kau sependapat? Nah, di tahap inilah keistiqomahan rindu mulai diuji. Saat di mana rindumu mulai diambil alih orang baru.

Bisa tidak kau memelihara rindu itu selama masa yang entah berapa lamanya. Sepuluh tahun mungkin, atau tiga puluh tahun, lima puluh atau bahkan mungkin seumur hidup? Kuyakin, tak banyak yang bisa. Pun aku sendiri meragukan diriku sekarang. Karena berat, berat sekali memelihara rindu. Mengistiqomahkannya maksudku. Dan ternyata. Aku baru sadar.

Waktu adalah pemilik kuasa sekarang. Dia yang secara perlahan akan mengikis rindu. Dia yang perlahan akan memudarkan warna rindu. Hingga akhirnya, kita bahkan tak ingat lagi. Bahkan tak merasai lagi. Maka kubersimpul. Bukan rindu yang berat. Tapi memeliharanya.

@di kamar sunyi, ditemani ingus dan hasrat untuk bersin yang menggebu.

Rabu, 21 Maret 2018

Sepasang Bola Mata

Hari ini kubelajar melihat mata. Menelisik jauh ke dalamnya. Entah bagaimana, mata adalah salah satu bagian paling istimewa. Ia bisa menguak kebenaran yang bahkan lebih jernih daripada padanan kata.

Hari ini kupandangi mereka. Ya mereka. Dua bola mata yg hampir-hampir tak mampu membendung anak sungai yg hendak menyeruak.

Saat dia bercerita, kulihat dua bola mata bundar nan hitam itu juga ikut bicara. Mereka begitu jujur. Bahkan air di dalam mataku juga penasaran ingin ikut mengintipnya.

Selasa, 20 Maret 2018

Perspective

Hari ini gue flu. Gue bener2 berharap dapet chat dari dosen bahwa besok beliau sibuk. Jadi ga bisa bimbing gue. Bimbing scriptsweet gue maksudnya. Tapi sayangnya, sampe sekarang, udah jam 8:27 PM tapi ga ada satupun chat dari dosen gue. Iyalah, secara beliau dosen terdisiplin yang pernah gue kenal. Dan FYI gue nge-fans banget sama dosen gue satu itu.

Oke, daripada postingan ini berakhir dengan curhatan ga jelas, mending kita mulai deh. Kali ini gue mau bahas soal perspektif. Apa yang ada dipikiran lu saat denger kata ini?

Cara pandang? Hmm.. boleh.
Pemikiran? Hmm.. bisa jadi.
Beda-beda per orang? Hmm.. ho oh.
Ya gitu deh lokoknya. Jawabannya kembali ke diri kita masing-masing.

Buat gue, perspektif itu adalah cara pandang kita terhadap sesuatu atau fenomena tertentu.

Misalnya nih, saat ini gue kan lagi flu nih ceritanya. Nah, seenggaknya ada dua nih perspektif yang bisa dibahas. Pertama, dengan gue flu, Allah punya alasan buat ngampunin semua dosa-dosa gue. Katanya kan gitu ya? Sakit itu adalah salah satu media paling gampang buat ngehapus lu punya dosa. Mudah-mudahan Allah bener-bener mau ngehapus dosa-dosa yang selama ini udah gue tabung secara sadar ato ga.

Perspektif kedua, dengan flu, gue jadi punya alasan buat malas-malasan. Malas bangun, malas bikin tugas, malas bimbingan. Terus yang paling penting, gue jadi punya alasan buat kangen kampung. Pulang ke rumah terdamai sepanjang masa. Ketemu ibu sama abah. Et dah. Apa banget yak? Orang cuma flu doang juga. Lagian kalau mau pulkam ya pulkam aja atuh. Orang cuma 3 jam doang.

Ya pokoknya gitu deh, gue ga tahu entah ini ada faedahnya ato kagak. Yang penting gue cuma pengen nulis. Udah itu aja. Dan sebenernya karena udah terlanjur janji sama adek kamar gue yang super duper ---- (maap yak gue sensor, pokoknya gitu deh, ceritanya kami lagi ada proyek one day one post gitu, dan ini baru hari kedua cuy. Lu doain aja supaya jangan sampe gue ngibarin bendera putih ke rival gue itu.) 😁

Minggu, 18 Maret 2018

Being A Teacher

Akhir-akhir ini aku sering diminta untuk ngajar. Ngajar bimbel di sebuah tempat di kawasan Gunung Pangilun, Padang. Rentangan anak didiknya dari murid Sekolah Dasar sampai murid Sekolah Menengah Pertama. Kamu tahu itu artinya apa? Yup!!! It will be fun.

Awalnya aku ragu buat nerima tawaran itu. Karena jujur aja, background-ku bukan dari pendidikan. Aku berkuliah di jurusan Sastra Inggris yang jauh dari kata ajar-mengajar. Tapi bolehlah, hitung-hitung nambah pengalaman. Toh, dulu sebelum dinyatakan lulus di jurusan ini, aku kan minatnya juga di PGSD. Sayang aja nggak jebol. Huhuu.

So, setelah beberapa hari ngejalanin profesi baruku, rasanya tu nano-nano. Ada manis, asem, asin, dan sedikit kelat. (Udah kayak apaa gitu ya?) Mereka nyenengin sih, asik juga. Mau nurut, rajin nabung dan nggak sombong. Eh! (Kok jadi meleber kemana-mana?)

Mereka juga ada yang nakal, pake bigittss malah. Saat aku ngejelasin pelajaran, dia malah ngaji. Ngaji baik kan ya? Tapi nggak pas lagi belajar atau ngebahas soal juga kalee. Jadi nggak kedengeran tuh suara yang kebagian baca soal plus jawabannya. Tapi ya udahlah ya. Namanya juga anak-anak.

Aku jadi kayak lagi bercermin. Jadi ngelihat diriku dari mata mereka. Seolah memori masa kecilku dipanggil lagi dan menguap lagi untuk segera diingat. Ini yang bikin aku nyaman menjadi seorang guru, terutama guru SD. Mata mereka itu jujur, mengisyaratkan rasa sedih, takut, malas dan bahagia dengan jujur. Nggak seperti kita orang dewasa. Kadang suka aneh.

Saat sedih malah ketawa, saat bahagia malah nangis. Saat benci sama orang malah ajak dia berteman terus nikam dari belakang. Saat sayang bat sama teman malah pura-pura nggak peduli. Apa maksudnya coba? Kalau sayang tuh ya diungkapin atuh, beliin dia makanan kek. Kunjungi rumahnya, ajak main bareng. Bener nggak??

#btw, itu foto saat meriksa kuku 😉

Senin, 12 Maret 2018

Fenomena Ojek dan Gojek

Pagi ini aku berangkat ngajar di salah satu tempat bimbel di kota Padang. Tempatnya cukup jauh dari Wisma, jadi kurasa ga berlebihan jika memakai jasa Gojek. Kabar angin yang beredar sih katanya Gojek nggak boleh masuk gang-gang karena itu merupakan wilayahnya Ojek. Jadi Gojek hanya bisa menaikkan penumpang di jalan raya aja. Well, itu katanya. Dan kamu tahu akulah, kalau belum ngebuktiin sendiri tuh rasanya gimanaa gitu.

Ya udah, aku pesan Gojek dan minta dia masuk ke gang alamat wismaku. Pas udah nyampe, baru aja mau ngegas, eh tetiba ada abang Ojek yang datang mendekat. Tak lupa dengan tampang yang sedikit kurang bersahabat. Awalnya cuman satu, terus datang satu lagi. Aku panik dong, takut mereka berantem atau apa gitu kan. Karena kudengar juga, Ojek dan Gojek sering bentrok akhir-akhir ini karena rebutan penumpang.

Akhirnya aku disuruh turun dulu, ditanya mau ke mana. Akupun bingung, ini baru ketiga kalinya aku ke tempat bimbel itu, karena emang posisiku cuma ngegantiin guru yang berhalangan aja. Apalagi katanya orang dengan golongan darah A cenderung lebih susah ngafal jalan. Itulah aku. Huhuu.

Akhirnya jujur menjadi satu-satunya pilihan. Kubilang aja kalau sejujurnya aku ga tahu persisnya dimana tempatnya. Nah, abang Ojek itu kebingungan juga akhirnya kan. Sesekali kulirik abang Gojek, dia udah pasrah. Tampangnya seolah bilang gini "Ya udah bang, aku ngalah aja. Kalau mau rebut penumpangku ya monggo." Gitu. Akhirnya aku naik Ojek dulu ke jalan raya, habis itu baru naik Gojek. Yup! Jadinya terpaksa bayar dua kali. Rempong kan?

Itu baru kronologis ceritanya. Selanjutnya yuk kita preteli kejadian ini lebih dalam. Aku pribadi sih ngelihatnya ada tiga sudut pandang. Pertama aku sebagai penumpang, kedua aku sebagai abang Gojek, ketiga aku sebagai abang Ojek.

Aku sebagai penumpang. Gimana rasanya? Ya elah, pake nanya bos. Ya udah pasti kezell lah. Mana pake acara di hadang pula. Udah macam tersangka maling ayam aja kita. Haha. Perasaan lain yang aku rasa pastinya takut dan khawatir. Bisa bayangin kan saat ada dua orang didekatmu yang adu mulut karena kamu. Iya, secara ga langsung kan itu karena aku ya. Karena mereka rebutan penumpang lebih tepatnya. Gimana jadinya kalau mereka saling adu jotos. Kan berabe! Terakhir, aku sebagai penumpang juga ngerasa dirugiin. Karena mesti dua kali bayar. Harus pake Ojek dulu baru bisa pake Gojek. Duhh.. ribet! Sementara sejatinya, aku sebagai penumpang punya hak kan mau milih yang mana. Jika pelayanan Gojek memang lebih baik, otomatis aku lebih milih Gojek. Begitu juga sebaliknya. Kurasa semua penumpang juga berpikiran sama.


Aku sebagai abang Gojek. Duh, ngerasa miris aja. Kita kan sama-sama cari nafkah ya. Dan rezeki itu Allah yang ngatur. Jika penumpang pengen make Gojek ya berarti itu rezekinya Gojek. Lagian bukankah tujuan keduanya sama; melayani penumpang dan mengantar mereka ke tempat tujuan dengan selamat. Kami juga ga pernah maksa mereka buat makai jasa Gojek, tapi mereka sendiri yang memilih. Itu artinya, ada sesuatu yang lebih yang kami tawarkan. Keramahan pada penumpang misalnya, keefektifan mencari alamat misalnya, atau kesesuaian tarif. Harusnya bukan malah berseteru, Ojek harusnya meniru hal-hal baik yang kami tawarkan dan bersikap dewasa. Toh, kalau jaraknya dekat penumpang juga bakal naik Ojek kok, kalau jauh aja mereka lebih sering milih Gojek. Dan sekali lagi, itu kan hak penumpang dan juga rezeki masing-masing. Jadi ga perlu pake pencegalan kayak gini, seolah kami para Gojek ini telah melakukan penyelewengan atau apa gitu kesannya. Kami hanya berdoa mudah-mudahan suatu hari nanti hubungan Ojek dan Gojek bisa membaik, karena kita saudara kan sebenarnya.


Aku sebagai abang Ojek. Aku tahu sebagian besar orang yang melihat fenomena ini lebih cenderung berpikir bahwa kami para Ojek inilah yang jahat. Kami sok berkuasa dan melarang Gojek masuk gang. Tapi coba lihat dari sisi kami juga. Toh kami tidak menghalangi Gojek di jalan raya kan. Kami hanya menghalangi masuk gang karena memang hanya itu peluang kami sekarang. Kita sama-sama sadar kan, kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan Gojek sekarang daripada Ojek. Jika kami juga membiarkan Gojek masuk ke gang, lantas darimana kami bisa mendapat penghasilan? Sementara kami juga butuh nafkah untuk menghidupi anak dan istri di rumah. Jadi kami berharap, semua pihak agar bisa bijaksana menyikapi peraturan yang telah disepakati ini, sehingga semua pihak tidak saling dirugikan.


Wokeeehh, balik lagi ke aku ya. Ini aku yang asli sekarang. Hehee. Jujur, aku lebih memilih Gojek itu karena pertama alamatnya jelas, terus tarifnya juga jelas, dan drivernya juga lebih ramah. Tapi untuk tujuan yang dekat seperti ke kampus misalnya, aku masih suka make Ojek kok, karena lebih praktis. Ketemu di jalan langsung tancap gas. Hahaa.

So, buat Gojek dan Ojek, akur-akur aja lah. Rezeki ga ke mana kok, kalau bersitegang mulu, ga cuma kalian yang rugi, kamipun juga rugi. Ketakutan, ga nyaman, dan jadi bayar dua kali.. Well, let's spread love and peace!! ✌

Kamis, 08 Maret 2018

Hubungan

Apa kata pertama yang terpikir olehmu saat mendengar kata "hubungan"? Kalau aku sih satu kata, unik.

Yup! Menurutku segala macam jenis hubungan itu unik. Ia baru bisa dikatakan hubungan saat kita menjalaninya dengan intens. Dan ia baru bisa berkembang jika kita berhasil menciptakan konflik dan menyelesaikannya kembali; bersama.

Kali ini kumulai dengan hubungan persahabatan. Hubungan persahabatan itu unik. Ia ga butuh peresmian atau ungkapan formal lain. Ia cuma butuh dijalani dan dinikmati. Kita ga bisa menilai bahwa seseorang adalah sahabat kita sebelum menjalani banyak hal bersamanya.

Senyum bareng, ketawa ngakak bareng, gaje bareng, sok sibuk bareng, sok imut bareng, selfie bareng. Tapi ga hanya itu. Belum sahabat namanya jika kita belum nangis darah bareng 😱, mewek bareng, hadepin masalah bareng, nyari solusi bareng, dan akhirnya lega bareng.

Coba deh kamu ingat lagi, kira2 gimana awal ceritanya sampai kamu bisa sahabatan ama seseorang? Pasti salah satunya ada diantara kegiatan bareng yang kusebutkan tadi.

Jika semua itu udah dilewatin bareng, nah sekarang saatnya buat bilang bahwa dia adalah sahabatmu. Satu hal yang harus dilakukan setelahnya, pastikan bahwa kamu bersahabat dengan orang yang benar. Yang akan selalu mengajak pada kebaikan. Karena sahabat adalah cerminan diri kita.

Jika sahabatan sama kambing hutan (anti mainstream), kita juga bakal kena bau amisnya. Kalau sahabatan sama bunga mawar, kita juga bakal ketularan wanginya. Pada setuju kan? 😉

Rabu, 07 Maret 2018

Jodoh dan Ikat Rambut

Hari ini kubelajar tentang hal baru. Kata orang jodoh itu tak ke mana. Selama ini aku berusaha untuk percaya, walau terkadang hatiku menafikkannya. Tapi hari ini aku mulai yakin. Benar memang. Jodoh itu tak ke mana. Ia akan Allah pertemukan dengan cara dan skenario yang tak diduga.

Jadi gini ceritanya.

Sepagi ini, aku kedatangan tamu, dia orang Pesisir, aku orang Bukittinggi. Aku bahkan tak kenal dengannya, dia juga. Nah, jadi dia ini adalah teman dari kakak abang iparku. Ribet kan? Iya jadi gini, aku kan punya kakak, nah dia kan punya suami. Suaminya ini punya kakak juga. Nah teman kakaknya itulah yang berjodoh denganku. Maksudku bukan jodoh dalam artian "ke arah sana" ya. Dia perempuan soalnya. Hehe

Jadi gini, dia ada keperluan datang ke Padang, nah dia numpang nginap lah di wismaku. Terus dia minjam ikat rambutku, karena katanya lupa bawa. Dan aku kasih. Nah di sana poinnya. Ikat rambut itu intinya.

Pasalnya, aku mendapatkan ikat rambut itu dari seorang teman, namun tak pernah kupakai. Bukan apa-apa. Ikat rambut itu terlalu kedodoran untukku, apalagi tempo hari rambutku sering berguguran. Biasalah, efek skripsweet yang masih belum kelar. Miris pemirsah.

Jadi maksudku, kalau jodoh memang tak ke mana. Ikat rambut itu sudah lama ada padaku, tapi karena memang ga berjodoh denganku, akhirnya ia pergi dariku. Ia pergi menemui jodohnya. Begitulah skenario Allah, tak pernah terpikirkan, tak terduga, dan penuh misteri.

Sekarang kuyakin, jodoh memang tak akan pernah tertukar. Aku pasti akan dipertemukan dengan jodohku nanti, begitu juga dengan kau. Jadi, tak perlulah kiranya dari sekarang memulai pendekatan dengan orang asing yang belum tentu akan menjadi jodoh kita. 😉