Ini adalah kali ketiga aku down banget. Bener-bener sendiri. Jika ku tak salah, kali pertama aku merasai ini adalah saat semester empat perkuliahan, lebih tepatnya saat aku menjadi ketua di wisma. Wisma adalah semacam asrama untuk mahasiswi, namun bernuansa Islami yang sangat kental.
Entah karena memang masih kecil dalam artian belum bijak menyelesaikan permasalahan, atau memang karena penyaluran semangat yang terlalu berlebihan, hingga cara kepemimpinanku waktu itu banyak ditentang oleh anggota wisma. Mereka tidak suka dengan gaya kepemimpinanku. Yang membuatku merasa benar-benar sendiri adalah karena yang menentang bukan hanya teman sebaya atau adik kelasku, tapi juga senior-senior. Kuharap waktu itu, jika memang ada yang salah dari caraku, ada lah yang berbaik hati memegang tanganku dan mengajari bagaimana memimpin. Karena jujur, itu pertama kalinya buaku. Sebelumnya aku terbiasa hanya menjadi penonton, bukan pemain. Benar-benar berat semester itu kulalui. Tapi untunglah, aku tetap bisa bertahan. Dengan sedikit tersengal mencoba menata diriku, dan menguatkan hati yang rapuh itu. Hingga akhirnya aku bisa menghadirkan senyumku lagi.
Kali kedua, adalah saat dua orang sahabat karibku pergi menghilang. Tak apakan jika kutak menyebutkan nama? Aku hanya takut rindu itu kembali lagi mengusikku. Kejadian itu terjadi di semester tujuh perkuliahan. Aku dan mereka sudah sangat dekat, bahkan sudah seperti saudara kandung. Bagaimana tidak, dari awal berkuliah, aku sudah sekelas dengan mereka. Dan tak berapa lama kemudian juga aku sewisma dengan mereka. Tahun demi tahun kami lewati bersama. Pergi ke kampus bareng, ngerjain tugas bareng, ke pantai bareng ngelepas suntuk selama perkuliahan, ketawa ketiwi bareng, sholat jamaah bareng, makan bareng, masak bareng. Pokoknya hampir semua pekerjaan kami kerjakan bareng-bareng.
Tetiba masalah menimpa mereka. Mereka terkendala dalam hal ekonomi. Sebenarnya yang menbuatku makin terluka adalah saat aku bahkan tak tahu apa-apa. Aku hanya tahu kenyataan bahwa mereka akan pergi, yaitu saat keputusan untuk berhenti kuliah sudah sangat bulat mereka buat. Rasanya langit mau runtuh menimpa badanku yang tak seberapa ini. Berurai tangis kukeluarkan melepas kepergian mereka. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan saat itu. Tapi kembali, pada akhirnya aku bisa bangkit dan menemukan senyumku sekali lagi.
Dan sekarang. Sekarang adalah saat-saat dimana kejadian beberapa tahun lalu harus terulang kembali. Aku tahu, semakin besar pohon maka semakin kencang juga angin yang menerpanya. Aku sering dengar pepatah bijak itu. Kuanggap saja demikian juga halnya dengan diriku sekarang. Entah perumpamaan itu cocok atau tidak.
Aku adalah satu di antara dua senior yang masih bertahan di wisma ini. Karena memang aku masih memperjuangkan gelar sarjanaku. Beda dengan sahabatku -yang ini beda lagi, bukan dua sahabat yang kuceritakan tadi- ia telah berhasil memperoleh gelar sarjananya. Saat ini dia masih memilih untuk bertahan di wisma karena ingin menemaniku hingga selesai. Terharu aku dengan ketulusannya.
Tapi kemudian, kenyataan yang kutakutkan akhirnya datang juga. Dia harus pindah dari wisma karena orangtuanya yang tidak lagi memberi lampu hijau. Sebenarnya aku tahu bahwa selama ini pernah beberapa kali orangtuanya menyuruh pindah, namun masih bisa dilobi sehingga ia masih diperbolehkan bertahan. Namun sekarang, nampaknya tak ada lagi lobian yang berhasil. Karena kondisinyapun juga sudah tak mendukung. Keputusan akhir sudah bulat dan satu-satunya sahabat sebayaku di rumah ini akan segera pergi meninggalkanku sendiri. Ya, sendiri.
Aku tahu aku begitu cengeng. Karena selalu saja tak mampu menghadapi kenyataan. Tapi sendiri di sini, adalah berarti menanggungjawabi adik-adik yang jumlahnya tidak sedikit. Mulai dari amalan ibadah mereka, kesehatan mereka, prestasi akademiknya, dan yang paling berat, menanggungjawabi perasaan mereka agar bertahan di sini. Agar mau terus berjuang menegakkan dakwah di kampus kami. Akankah aku sanggup? Selama ini bahkan aku sering tertatih menghadapi ini walau sudah berdua dengan sahabatku. Tapi sekarang aku harus sendirian.
Tapi tak apa. Aku harus bijak menyikapi ini. Bukankah disetiap kehilangan akan selalu ada yang datang? Bukankah bersama satu kesulitan akan muncul dua kemudahan? Aku yakin saat ini Allah sedang sangat mencintaiku, hingga diuji-Nya aku dengan ujin ini. Aku harus mensyukuri ini, karena itu artinya Allah masih memperhatikanku. Mungkin saja Allah sedang mencemburuiku karena selama ini lebih sering mengharapkan pertolongan manusia ketimbang pertolongan-Nya. Baiklah, sepertinya aku mulai paham.
Sekarang aku akan bertahan lagi. Sama seperti dulu saat kali pertama dan kedua aku merasakan ini. Tak masalah jika sekali lagi harus kembali merasakannya. Toh, permata butuh di asah untuk bisa bersinar dengan indah. Kuharap akupun juga begitu. Bismillah.