Senin, 30 April 2018

Bangkai Munafik

Malam ini kubersyukur tiada kira. Allahku, terima kasih karena selalu sudi memanggilku lagi, lagi dan lagi. Menyapa kala hati mulai perlahan menjauh dari-Mu. Terima kasih karena masih sudi memberi bangkai munafik ini kesempatan untuk kembali. Memberi kesempatan untukku bisa sadar bahwa haluan kapalku telah jauh membelakangi-Mu. Terima kasih karena bangkai munafik ini masih Kau jaga melalui lisan-lisan mereka yang mulia.

Alangkah malang jika aku tak dipertemukan dengan orang-orang semacam mereka. Alangkah malang jika dulu aku memilih mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu untuk menjadi anak kuliahan kekinian. Dipenuhi huru-hara dan persaingan zaman yang tak berkesudahan.

Terima kasih Allahku. Terima kasih karena menyesatkanku di jalan yang benar. Terima kasih karena memperkenalkanku dengan perempuan berjilbab lebar yang kata orang mungkin terlihat sedikit lebai. Tapi di sinilah aku kini. Berbaur dengan mereka, menerima nasihat surga dari tutur lembutnya. Dan pada akhirnya, mengantarku untuk kembali memutar haluan kapalku. Memutar 180 derajat hingga tepat mengarah pada cahaya-Mu.

Baik. Akan kucoba sekali lagi. Ah tidak. Bahkan dua, tiga, atau mungkin seratus kali lagi. Sungguh, tak apa! Meski harus tertatih, kapal ini tak boleh berbelok lagi. Mohon bantulah ya Allah. Tak apa jika Kau beri riak gelombang sebagai teman. Sebagai pengingat bahwa jalan ini tak akan mudah. Tapi, jika boleh kumeminta, tolong jangan terlalu kuat. Karena aku belum percaya pada diriku sendiri.

Kamis, 26 April 2018

Hurt

Dan kini, luka itu masih pedih. Saat korneaku tak bisa berpaling ke arah lain selainnya, tapi aku bisa apa. Ruang itu kiranya terlalu luas untuk menggenapkanku dannya. Jangan bilang kutak pernah berusaha. Sudah, sungguh sudah kulakukan. Tapi memang berat, mau bagaimana lagi. Kadang hati memang suka seenaknya sendiri.

Minggu, 08 April 2018

Fragile

Ini adalah kali ketiga aku down banget. Bener-bener sendiri. Jika ku tak salah, kali pertama aku merasai ini adalah saat semester empat perkuliahan, lebih tepatnya saat aku menjadi ketua di wisma. Wisma adalah semacam asrama untuk mahasiswi, namun bernuansa Islami yang sangat kental.

Entah karena memang masih kecil dalam artian belum bijak menyelesaikan permasalahan, atau memang karena penyaluran semangat yang terlalu berlebihan, hingga cara kepemimpinanku waktu itu banyak ditentang oleh anggota wisma. Mereka tidak suka dengan gaya kepemimpinanku. Yang membuatku merasa benar-benar sendiri adalah karena yang menentang bukan hanya teman sebaya atau adik kelasku, tapi juga senior-senior. Kuharap waktu itu, jika memang ada yang salah dari caraku, ada lah yang berbaik hati memegang tanganku dan mengajari bagaimana memimpin. Karena jujur, itu pertama kalinya buaku. Sebelumnya aku terbiasa hanya menjadi penonton, bukan pemain. Benar-benar berat semester itu kulalui. Tapi untunglah, aku tetap bisa bertahan. Dengan sedikit tersengal mencoba menata diriku, dan menguatkan hati yang rapuh itu. Hingga akhirnya aku bisa menghadirkan senyumku lagi.

Kali kedua, adalah saat dua orang sahabat karibku pergi menghilang. Tak apakan jika kutak menyebutkan nama? Aku hanya takut rindu itu kembali lagi mengusikku. Kejadian itu terjadi di semester tujuh perkuliahan. Aku dan mereka sudah sangat dekat, bahkan sudah seperti saudara kandung. Bagaimana tidak, dari awal berkuliah, aku sudah sekelas dengan mereka. Dan tak berapa lama kemudian juga aku sewisma dengan mereka. Tahun demi tahun kami lewati bersama. Pergi ke kampus bareng, ngerjain tugas bareng, ke pantai bareng ngelepas suntuk selama perkuliahan, ketawa ketiwi bareng, sholat jamaah bareng, makan bareng, masak bareng. Pokoknya hampir semua pekerjaan kami kerjakan bareng-bareng.

Tetiba masalah menimpa mereka. Mereka terkendala dalam hal ekonomi. Sebenarnya  yang menbuatku makin terluka adalah saat aku bahkan tak tahu apa-apa. Aku hanya tahu kenyataan bahwa mereka akan pergi, yaitu saat keputusan untuk berhenti kuliah sudah sangat bulat mereka buat. Rasanya langit mau runtuh menimpa badanku yang tak seberapa ini. Berurai tangis kukeluarkan melepas kepergian mereka. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan saat itu. Tapi kembali, pada akhirnya aku bisa bangkit dan menemukan senyumku sekali lagi.

Dan sekarang. Sekarang adalah saat-saat dimana kejadian beberapa tahun lalu harus terulang kembali. Aku tahu, semakin besar pohon maka semakin kencang juga angin yang menerpanya. Aku sering dengar pepatah bijak itu. Kuanggap saja demikian juga halnya dengan diriku sekarang. Entah perumpamaan itu cocok atau tidak.

Aku adalah satu di antara dua senior yang masih bertahan di wisma ini. Karena memang aku masih memperjuangkan gelar sarjanaku. Beda dengan sahabatku -yang ini beda lagi, bukan dua sahabat yang kuceritakan tadi- ia telah berhasil memperoleh gelar sarjananya. Saat ini dia masih memilih untuk bertahan di wisma karena ingin menemaniku hingga selesai. Terharu aku dengan ketulusannya.

Tapi kemudian, kenyataan yang kutakutkan akhirnya datang juga. Dia harus pindah dari wisma karena orangtuanya yang tidak lagi memberi lampu hijau. Sebenarnya aku tahu bahwa selama ini pernah beberapa kali orangtuanya menyuruh pindah, namun masih bisa dilobi sehingga ia masih diperbolehkan bertahan. Namun sekarang, nampaknya tak ada lagi lobian yang berhasil. Karena kondisinyapun juga sudah tak mendukung. Keputusan akhir sudah bulat dan satu-satunya sahabat sebayaku di rumah ini akan segera pergi meninggalkanku sendiri. Ya, sendiri.

Aku tahu aku begitu cengeng. Karena selalu saja tak mampu menghadapi kenyataan. Tapi sendiri di sini, adalah berarti menanggungjawabi adik-adik yang jumlahnya tidak sedikit. Mulai dari amalan ibadah mereka, kesehatan mereka, prestasi akademiknya, dan yang paling berat, menanggungjawabi perasaan mereka agar bertahan di sini. Agar mau terus berjuang menegakkan dakwah di kampus kami. Akankah aku sanggup? Selama ini bahkan aku sering tertatih menghadapi ini walau sudah berdua dengan sahabatku. Tapi sekarang aku harus sendirian.

Tapi tak apa. Aku harus bijak menyikapi ini. Bukankah disetiap kehilangan akan selalu ada yang datang? Bukankah bersama satu kesulitan akan muncul dua kemudahan? Aku yakin saat ini Allah sedang sangat mencintaiku, hingga diuji-Nya aku dengan ujin ini. Aku harus mensyukuri ini, karena itu artinya Allah masih memperhatikanku. Mungkin saja Allah sedang mencemburuiku karena selama ini lebih sering mengharapkan pertolongan manusia ketimbang pertolongan-Nya. Baiklah, sepertinya aku mulai paham.

Sekarang aku akan bertahan lagi. Sama seperti dulu saat kali pertama dan kedua aku merasakan ini. Tak masalah jika sekali lagi harus kembali merasakannya. Toh, permata butuh di asah untuk bisa bersinar dengan indah. Kuharap akupun juga begitu. Bismillah.

Kamis, 05 April 2018

Seni Bersedih

Kata orang, menulislah saat hatimu sedang tak enak. Dulu kutak percaya. Tapi sekarang sudah. Aku sudah percaya.

Entah kenapa, daya imajinasi dan kreativitas otak kita memang cenderung mengalir deras kala hati sedang tak enak. Seketika ada banyak kosa kata yang terlintas. Seketika ada banyak hal yang ingin diulas.

Seperti sekarang misalnya. Ada sesuatu yang terjadi kemarin, yang membuat suasana hatiku agak terusik. Tak perlulah kuceritakan di sini karena hanya akan menambah pelik suasana hatiku.

Kenyataan demi kenyataan yang kudapati, sukses membuat batinku terusik. Ada hal yang rasanya ingin dikeluarkan. Sesuatu semacam cairan mungkin. Yang biasanya mengalir dari ujung bagian dalam kedua bola mata.

Tapi kemudian, ia urung. Aku paling benci suasana ini. Jika memang harus menangis maka menangislah saja. Tapi dia malah tertahan dan enggan untuk keluar. Sementara dari dalam diriku terlanjur ada dorongan luar biasa yang menyuruhnya keluar. Ah, sangat menyebalkan.

Rasanya seperti saat kau ingin teriak sekencang-kencangnya tapi harus kau tahan karena sedang ada rapat penting dengan petinggi. Terserahlah petingginya petinggi apa. Bisa terbayangkan situasinya?

Dan kemudian, inilah yang bisa kulakukan. Memuntahkan semua rasa lewat kata-kata apa saja yang berseliweran di benakku saat ini. Rasanya lumayan. Mengurangi gundah hati walau hanya seinci.

Pelik

Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Rasanya semakin ke sini aku semakin tak kenal dengan diriku. Kurasa aku sedang berada dalam tubuh yang asing. Sedang dikendalikan oleh jiwa lain.

Pernah ga kamu ngerasain hal yang sama? Saat-saat di mana rasanya ada sisi lain dari dirimu yang mengambil kendali atasmu? Saat di mana kamu ingin berhenti tapi sisi lain itu terus memaksamu untuk maju. Dan dengan semua ketidakberdayaanmu akhirnya kamu ikuti, dan terus kau ikuti.

Hingga akhirnya kau merasa langkahmu sudah aneh. Area ini sudah asing. Aku tak yakin kau bisa paham. Tapi memang semuanya pelik seperti ini, tolong dimengerti karena aku juga tak pandai menjelaskannya.

Saat aku kembali menguasai diriku, rasanya ada yang aneh. Ada seutas sesal yang terasa. Mengapa aku mau mengikutinya? Mengapa aku bisa sampai sejauh ini meninggalkan jatiku? Dan kemudian pikiran-pikiran untuk kembali mulai mengerubungiku.

Sekarang di sinilah aku. Sedang berusaha mati-matian untuk menentukan, ke mana arah yang harus kutuju. Berbalik arah atau malah maju menerobos segala kemungkinan yang ada di depan sana. Ah, semakin kemari semakin pelik saja. Kurasa cukup untuk sekarang. Aku tak mau benang kusut itu semakin ber-sjjdampwepsjfwjdjfkkaks.

Untuk sementara, beban kepalaku sudah sedikit berkurang karena sudah tertumpah di kedua ujung ibu jari yang dengan lincahnya menari di atas kotak-kotak alfabet ini.

Senin, 02 April 2018

Bahagia Sederhana

Rupa-rupanya bahagia memang sederhana. Cukup dengan hal-hal receh yang sepertinya tak berarti apa-apa. Kemarin misalnya. Tetiba dua gadis kecil yang tak lain adalah ponakanku sendiri, datang menghampiri.

Mereka menyembunyikan sesuatu di belakang punggung kecilnya. Jika boleh jujur, sebenarnya aku bisa melihat apa yg mereka sembunyikan lantaran memang tak berhasil tersembunyi dengan sempurna. Kuharap kau bisa maklum, mereka memang baru berkenalan dengan bangku sekolah dasar. Baru kemaren berhenti menyusu. Paham maksudku kan?

Aku bertanya "Apa itu Nak?"
Mereka malu-malu berkata "Hadiah buat Ante" Iya, dalam bahasa Minang, sebutan untuk tante diringkas jadi ante.

Seketika mereka mengeluarkan apa yg sedari tadi berusaha disembunyikan. Wajah mereka memperlihatkan kombinasi perasaan bahagia dan malu. Mungkin karena ini adalah salah satu hal sangat istimewa yg pernah mereka lakukan.

Tentu saja aku langsung mencoba bekerja sama. Kupasang wajah tersurprise yang bisa kutunjukkan. "Waahhh, indah sekalii. Benarkah ini buat ante?" Ujarku dengan mata berbinar. Mereka mengangguk dan terlihat puas dengan responku.

Biar tak penasaran, biar kugambarkan penampakan benda yang mereka sebut hadiah itu. Benda itu terdiri dari susunan stik es krim yang dilem membentuk persegi empat. Berdempet satu dan yang lainnya. Lapisan kedua mulai agak berantakan, agak miring kian-kemari. Lapisan ketiga sudah tidak rata lagi, di beberapa bagian kayu stiknya terlalu banyak hingga tebalnya jadi tak rata. Kemudian terciptalah segi empat tidak rata.

Setelahnya, mereka menempel kertas warna biru mengkilat dengan guntingan berbentuk gambar hati. Awalnya aku tak paham gambar apa itu. Karena bentuknya jelas abstrak. "Ini kupu-kupu juga?" Ujarku. Kebetulan sisi lainnya terdapat satu kupu-kupu berwarna merah mengkilat. Yang ini aku bisa tebak karena memang agak mirip.

Tapi tidak dengan kertas biru itu. Terlalu gemuk untuk seekor kupu-kupu. Tapi aku tak yakin untuk menyebutnya bola, terlalu jauh untuk dipanggil sebuah bola. Kemudian mereka menjawab. "Bukan, itu love" ujar salah satunya.
"Ohh.. wahh cantik sekali" Kuulangi lagi sandiwaraku.

Di bagian tengah, sebagai sentuhan akhir, terdapat sebuah bintang dengan banyak sisi, hingga terlihat seperti bunga. Tapi yang ini bagus, kuyakin bukan tangan mungil mereka yang merakit. Mungkin minta tolong sama ibunya.

Hanya itu. Kira-kira imaginasimu sudah terpancing belum untuk menampilkan bentukan benda itu? Kalau belum, maaf, aku tak punya bahan lagi untuk membantumu. Karena memang hanya itu yang mereka ciptakan. Oh iya, ngomong-ngomong itu lemnya belum kering, masih nampak bagian putih putih dari lem yang terlalu tebal dioleskan.

Aku terus memuji mahakarya mereka. Kemudian mereka mengambil dari tanganku dan berkata "Biar kami keringkan dulu, setelah dijemur, baru kami kasihkan ke ante ya." Ucapnya hampir bersamaan.

***

Bukan tentang bendanya. Kuyakin kalian bisa bayangkan gimana abstraknya benda yang mereka sebut hadiah itu. Tapi buatku.... Sama. Abstrak juga. Hehe.

Poinnya bukan itu. Aku merasa hangat. Ya. Hatiku terasa hangat menerima hadiah itu. Jika kau yang alami, kuyakin kau akan mengerti rasanya.
"Makasih naaak" ujarku sumringah tingkat dewa.

Siang itu, aku bahagia.