Minggu, 11 November 2018

Cerita Pertama di Perguruan Islam Arrisalah

Mari mendekat. Biar kuceritakan pengalaman haru minggu lalu. Pengalaman yang membuat mata hati terusik dan tertusuk. Kota Payakumbuh. Lebih kurang seminggu lamanya aku dan teman-teman menghabiskan hari di kota itu. Mukhoyyam Qur'an. Begitu kami menyebut nama acaranya. Inti dari acaranya adalah menumbuhkan kecintaan pada Al-Quran, menghabiskan hari bersamanya, menghafalkan dan mentadaburinya. Berhubung tokoh utamanya bukan aku, maka tak perlulah berlama-lama membahas tentang acara ini. Tokoh utama yang akan kukenalkan padamu kali ini adalah seorang sepuh yang kami panggil Oma. Kubilang sepuh karena memang usianya sudah tak muda lagi. Kalau tidak salah sekitar 79 tahun. Melebihi tiga lipatan usiaku.

Oma adalah ibu mertua dari Ustadz yang mengajar kami di pesantren. Kebetulan acara Mukhoyyam ini diadakan di rumah sang Oma. Jadi, semacam karantina gitu, siang malam kami habiskan hari bersama Al-Quran. Menghafalkannya kemudian menyetor ke pembina. Start dari jam 3 pagi sampai jam 10 malam, tentu saja dengan break ishoma (baca: istirahat sholat makan) plus kegiatan mandiri. Bahkan kami dikasih waktu wajib untuk tidur siang. Sungguh bagus acaranya.

Seperti kataku tadi, yang sangat menarik adalah kehadiran sang Oma yang bertugas sebagai tuan rumah kami selama di sana. Sungguh luar biasa semangat perempuan itu. Tiap hari beliau selalu membantu Umi (istri ustadz) untuk menyediakan makanan untuk kami. Pagi, siang malam beliau tak pernah absen. Selalu ambil bagian dalam menyelesaikan ini itu.

Pernah sore itu, saat seseorang di antara kami melihatnya di dapur. Oma sedang sibuk dengan wajan dan sabun cuci di tangannya. Lihatlah jawabannya saat kami mencoba menawarkan bantuan. Begini ujarnya "Ndak apa nak, biar Oma saja. Kalian teruskanlah menghafal, izinkan Oma ikut menerima aliran pahala dari setiap huruf yang kalian baca." Kalimat itu begitu sederhana, tapi sungguh dalam isinya. Sungguh kalimat indah yang membuat haru.

Pernah juga, pas kami sedang sholat maghrib, tetiba listrik mati. Tak lama setelah itu, Oma segera meracak sepedanya dan kemudian kembali membawa dua buah senter. Entah ke mana ia mencari senter itu. Takutnya lampu kembali mati, sehingga membuat kalian susah pergi berwudhu ke kamar mandi, katanya menerangkan.

Sungguh malu kami pada semangatnya. Di usia senjanya, ia bahkan nampak lebih bersemangat daripada kami-kami yang masih muda. O iya, aku baru ingat. Pernah juga waktu itu seneo airnya bermasalah, jadi air tidak bisa dinaikkan dari sumur. Kami terpaksa harus menimba dengan ember agar bisa menggunakan airnya. Sayangnya ember tidak cukup karena jumlah kami juga tidak sedikit. Begitulah Oma, tanpa berpikir panjang dia segera mengayuh sepedanya, dan kembali bersama tiga ember tambahan, lengkap dengan tali yang sudah terpasang pada masing-masingnya. Sungguh iri aku pada perempuan itu.

Saat penutupan acara Mukhoyyam, Oma meminta izin pada ustadz -yang tidak lain adalah menantunya sendiri- untuk berbicara sepatah dua patah kata pada kami. Dia memulai dengan salam. Kemudian, sunyi. Kami menunggu dengan hidmat sebagai tanda bahwa kami siap mendengarkan wejangan-wejangan darinya. Tapi kau tau kawan, bukan kalimat atau bahkan kata yang ia lontarkan. Tapi air mata. Ya, hal pertama yang ia lakukan setelah memberi salam adalah menangis, terisak-isak hingga membuat kami juga ikut larut dalam tangisan.

Setelah cukup mampu mengusai diri, kemudian ia mulai mengatur napas untuk memulai berbicara. "Waktu terasa cepat berlalu, tidak terasa sudah hampir mendekati satu abad hidup Oma. Tahun yang lalu tak bisa di jemput kembali, setiap kelalaian masa lalu tak bisa disesali lagi. Oma merasa sangat beruntung karena kalian berada di sini, membaca dan menghafal ayat suciNya. Oma merasa sangat terhormat karena bisa melayani kalian di sini." Ujarnya sambil terus menahan isakannya. Dari ceritanya yang kemudian dibenarkan oleh Umi, ternyata Oma bahkan belum mampu menghafalkan surat Al-Lahab dengan fasih. Tapi bukan itu poinnya, melainkan semangat dan kegigihannya. Di sela isak tangisnya, ia melanjutkan "karena belum mampu menghafalkan ayat yang panjang, Oma sering mengulang ayat sebanyak tiga kali atau lebih. Misalnya surat Al-Ikhlas, Oma baca berulang-ulang dalam satu rakaat sholat. Begitulah cara Oma agar bacaannya bisa panjang. Dan sekarang Oma sedang menghafal surat Al-Lahab. Memang susah rasanya, tapi Oma sedang megusahakan. Toh tidak ada kata terlambat bukan? Bukankah menuntut ilmu itu dari ayunan sampai ke liang lahat?" Kata-kata itu seolah menamparku tepat di wajah kiri dan kanan.

Sudah sedemikian kami difasilitasi untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran, masih saja lalai. Usia masih muda, ingatan masih kuat, beban pikiran belum ada, tapi kenapa semangat kami malah kalah dengan semangatnya Oma. Saat tiba di ayat yang sulit misalnya, pikiran untuk menyerah segera bermunculan. Padahal tengoklah Oma, bahkan surat Al-Lahab yang hanya lima ayat itu saja begitu sulit ia taklukkan, tapi tak pernah ada kata menyerah yang terlontar. Terimakasih karena 'tamparanmu' Oma.