Minggu, 11 Agustus 2019

Meringkas Samudera Menjadi Segenang Air

Ternyata menjelaskan urusan orang dewasa pada anak kecil itu memang tidak mudah. Baru aku sadar bahwa aku sudah bukan anak-anak lagi.

Jadi begini, sekarang itu ponakanku yang perempuan lagi main ke rumah. Mungkin kangen kali ya, soalnya jarang ketemu juga. Dia masih kelas 2 SD. Sekarang dia udah kusuruh tidur soalnya besok mau sekolah. Makanya aku bisa leluasa begini 'gunjingin' dia. Hihii 😅

"Nte, tadi nenek bilang katanya Chitra ga boleh lagi ya berpakaian kayak gini, katanya nanti kita dosa, orang juga jadi malu nengoknya. Betul itu Nte?" Tanyanya dengan keluguannya.

Ah, samudera luas itu harus diringkas menjadi segenang air dalam baskom. Menjelaskan tentang perkara aurat, mahram, berhias keluar rumah, memajang foto di medsos, azab neraka dan nikmat surga. Bayangin, samudera seluas itu harus dipahamkan ke anak SD kelas 2. Salut buat orangtua yang berhasil memahamkan anaknya sehingga mereka tumbuh menjadi anak yang sholeh dan solehah.

Tapi, satu yang kutahu, aku bahagia saat dia bertanya. Saat dia ga paham dan dia nanya lagi. Saat aku kesusahan menyederhanakan bahasa agar akalnya bisa menerima. Aku menikmati momen itu.

Kurasa, perempuan kecil yang sekarang lagi tidur di sampingku ini membuatku ingin segera menjadi seorang ibu. Saat kamu sudah besar nanti, kamu baca ya nak postingan Ante ini. Ante sayang Chitra karena Allah. 😍

Sabtu, 18 Mei 2019

Sandera

Hening. Cuma diam dan... ... "DIAM!! Jangan ada yang bergerak!!"
Aku merasakan cengkeraman kuat di bahu kanan. Seketika, tubuhku ditarik ke belakang dengan kekuatan sentakan yang mengejutkan. Saat itulah, tangan kekarnya mengalung di leherku. Pisau di tangan kirinya didekatkan ke wajahku. Tepat di dekat mata kiri. Untuk sesaat, aku lupa cara bernafas.
"Biarkan aku pergi, dan dia akan hidup!" bentaknya pada orang-orang yang mengelilingi.

Polisi-polisi gagah itu mematung di tempat. Menghitung segala kemungkinan, dan entah karena pertimbangan apa, mereka akhirnya saling mengirim kode, dan kemudian menurunkan senjata. Mungkin mereka tak mau menghadapi resiko kerugian lebih besar dari ini. Tidak lucu, jika nyawa anak komandan mereka juga ikut melayang bersama dua mayat yang kini tergeletak tak bernyawa. Di tambah lagi, penyergapan ini dibawah perintah langsung komandan mereka.

Tak terjadi apa-apa setelahnya. Satu detik... dua detik... tiga detik. Aku hanya bisa pasrah, karena perlawananku barusan terbukti sia-sia belaka. Seolah aku hanyalah lalat kecil yang siap dipitingnya kapan saja dengan karet gelang. Harus kuakui, aku terlalu takut sekarang.

"Tenang, aku tak akan menyakitimu. Percayalah, di sini, aku hanya korban." Bisikan itu kecil saja, tapi cukup untuk kudengar. Kulit leherku bahkan merasakan hawa nafasnya yang hangat. Aroma mint dari bisikannya menjalar ke hidungku, mengalir, dan bergerilya menuju otak. Membuatku merasakan sensasi aneh. Baru kusadari, tangannya dibahuku melonggar bersamaan dengan bisikan barusan. Apa yang terjadi padaku? Aku menjadi sandera seorang lelaki asing, dengan mata pisau yang hampir menyapa wajahku, dan aku malah merasakan... -Kenyamanan.
Ah, otakku terlalu kacau untuk berpikir.

🔪🔪🔪

Mereka semua mengarahkan pistol padaku. Tidak. Tidak mungkin begini endingnya. Aku bukan pelakunya. Aku hanya berada di waktu yang tidak tepat.

Tapi, sepertinya polisi ini tak akan mau berkompromi. Semua bukti seolah menuju pada satu orang. Dan itu, aku. "Berpikirlah boi, berpikir!" Otakku memaki dengan liar.

Entah dorongan energi dari mana, seperti kecepatan cahaya, tiba-tiba perempuan ini berada dalam rangkulanku. Lebih tepatnya, dalam cengkeramanku. "DIAM!! Jangan ada yang bergerak!" Adrenalin mengambil kendali tubuhku.
Perempuan ini menggigil, aku bisa merasakan ketakutannya. Kenapa aku jadi benar-benar seperti orang jahat? Tuhan, bantu aku. Ini bukan aku.

Polisi-polisi ini nampak tak bergeming, tak ada isyarat mereka akan mundur. Baiklah, sepertinya tak ada pilihan.
"Biarkan aku pergi, dan dia akan hidup!" Cengkeramanku mengencang bersamaan dengan pisau yang kuarahkan tepat ke matanya. Aku bisa mencium aroma mawar merebak lembut dari rambut perempuan ini. Jika saja situasinya lain, tentu aku bisa berkenalan dengan lebih layak.
Ah, lupakan! Tak ada waktu.

Tapi hei, dia terdiam. Dari ujung mata pisau ini, pantulan wajahknya terlihat lumayan jelas. Perempuan ini menangis. Satu bulir air mengalir di pipinya, dan jatuh tepat di lenganku yang melingkari lehernya dengan kasar. Tetesan bulir itu terasa hangat. Aku tak tega Tuhan, aku belum pernah seegois ini sebelumnya.

Bersamaan dengan usahanya memberontak, aroma mawar lembut itu makin mengganggu hidungku, mengirim rasa bersalah yang semakin besar.
"Tenang, aku tak akan menyakitimu. Percayalah, di sini, aku hanya korban."

Aku tak yakin dia bisa mendengarku.

-v3

Minggu, 11 November 2018

Cerita Pertama di Perguruan Islam Arrisalah

Mari mendekat. Biar kuceritakan pengalaman haru minggu lalu. Pengalaman yang membuat mata hati terusik dan tertusuk. Kota Payakumbuh. Lebih kurang seminggu lamanya aku dan teman-teman menghabiskan hari di kota itu. Mukhoyyam Qur'an. Begitu kami menyebut nama acaranya. Inti dari acaranya adalah menumbuhkan kecintaan pada Al-Quran, menghabiskan hari bersamanya, menghafalkan dan mentadaburinya. Berhubung tokoh utamanya bukan aku, maka tak perlulah berlama-lama membahas tentang acara ini. Tokoh utama yang akan kukenalkan padamu kali ini adalah seorang sepuh yang kami panggil Oma. Kubilang sepuh karena memang usianya sudah tak muda lagi. Kalau tidak salah sekitar 79 tahun. Melebihi tiga lipatan usiaku.

Oma adalah ibu mertua dari Ustadz yang mengajar kami di pesantren. Kebetulan acara Mukhoyyam ini diadakan di rumah sang Oma. Jadi, semacam karantina gitu, siang malam kami habiskan hari bersama Al-Quran. Menghafalkannya kemudian menyetor ke pembina. Start dari jam 3 pagi sampai jam 10 malam, tentu saja dengan break ishoma (baca: istirahat sholat makan) plus kegiatan mandiri. Bahkan kami dikasih waktu wajib untuk tidur siang. Sungguh bagus acaranya.

Seperti kataku tadi, yang sangat menarik adalah kehadiran sang Oma yang bertugas sebagai tuan rumah kami selama di sana. Sungguh luar biasa semangat perempuan itu. Tiap hari beliau selalu membantu Umi (istri ustadz) untuk menyediakan makanan untuk kami. Pagi, siang malam beliau tak pernah absen. Selalu ambil bagian dalam menyelesaikan ini itu.

Pernah sore itu, saat seseorang di antara kami melihatnya di dapur. Oma sedang sibuk dengan wajan dan sabun cuci di tangannya. Lihatlah jawabannya saat kami mencoba menawarkan bantuan. Begini ujarnya "Ndak apa nak, biar Oma saja. Kalian teruskanlah menghafal, izinkan Oma ikut menerima aliran pahala dari setiap huruf yang kalian baca." Kalimat itu begitu sederhana, tapi sungguh dalam isinya. Sungguh kalimat indah yang membuat haru.

Pernah juga, pas kami sedang sholat maghrib, tetiba listrik mati. Tak lama setelah itu, Oma segera meracak sepedanya dan kemudian kembali membawa dua buah senter. Entah ke mana ia mencari senter itu. Takutnya lampu kembali mati, sehingga membuat kalian susah pergi berwudhu ke kamar mandi, katanya menerangkan.

Sungguh malu kami pada semangatnya. Di usia senjanya, ia bahkan nampak lebih bersemangat daripada kami-kami yang masih muda. O iya, aku baru ingat. Pernah juga waktu itu seneo airnya bermasalah, jadi air tidak bisa dinaikkan dari sumur. Kami terpaksa harus menimba dengan ember agar bisa menggunakan airnya. Sayangnya ember tidak cukup karena jumlah kami juga tidak sedikit. Begitulah Oma, tanpa berpikir panjang dia segera mengayuh sepedanya, dan kembali bersama tiga ember tambahan, lengkap dengan tali yang sudah terpasang pada masing-masingnya. Sungguh iri aku pada perempuan itu.

Saat penutupan acara Mukhoyyam, Oma meminta izin pada ustadz -yang tidak lain adalah menantunya sendiri- untuk berbicara sepatah dua patah kata pada kami. Dia memulai dengan salam. Kemudian, sunyi. Kami menunggu dengan hidmat sebagai tanda bahwa kami siap mendengarkan wejangan-wejangan darinya. Tapi kau tau kawan, bukan kalimat atau bahkan kata yang ia lontarkan. Tapi air mata. Ya, hal pertama yang ia lakukan setelah memberi salam adalah menangis, terisak-isak hingga membuat kami juga ikut larut dalam tangisan.

Setelah cukup mampu mengusai diri, kemudian ia mulai mengatur napas untuk memulai berbicara. "Waktu terasa cepat berlalu, tidak terasa sudah hampir mendekati satu abad hidup Oma. Tahun yang lalu tak bisa di jemput kembali, setiap kelalaian masa lalu tak bisa disesali lagi. Oma merasa sangat beruntung karena kalian berada di sini, membaca dan menghafal ayat suciNya. Oma merasa sangat terhormat karena bisa melayani kalian di sini." Ujarnya sambil terus menahan isakannya. Dari ceritanya yang kemudian dibenarkan oleh Umi, ternyata Oma bahkan belum mampu menghafalkan surat Al-Lahab dengan fasih. Tapi bukan itu poinnya, melainkan semangat dan kegigihannya. Di sela isak tangisnya, ia melanjutkan "karena belum mampu menghafalkan ayat yang panjang, Oma sering mengulang ayat sebanyak tiga kali atau lebih. Misalnya surat Al-Ikhlas, Oma baca berulang-ulang dalam satu rakaat sholat. Begitulah cara Oma agar bacaannya bisa panjang. Dan sekarang Oma sedang menghafal surat Al-Lahab. Memang susah rasanya, tapi Oma sedang megusahakan. Toh tidak ada kata terlambat bukan? Bukankah menuntut ilmu itu dari ayunan sampai ke liang lahat?" Kata-kata itu seolah menamparku tepat di wajah kiri dan kanan.

Sudah sedemikian kami difasilitasi untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran, masih saja lalai. Usia masih muda, ingatan masih kuat, beban pikiran belum ada, tapi kenapa semangat kami malah kalah dengan semangatnya Oma. Saat tiba di ayat yang sulit misalnya, pikiran untuk menyerah segera bermunculan. Padahal tengoklah Oma, bahkan surat Al-Lahab yang hanya lima ayat itu saja begitu sulit ia taklukkan, tapi tak pernah ada kata menyerah yang terlontar. Terimakasih karena 'tamparanmu' Oma.

Jumat, 24 Agustus 2018

Hantu

Dia mulai menjadi hantu. Entah sejak kapan aku tak ingat. Yang jelas sekarang hantu itu sudah agak sedikit berani mengusikku. Terutama saat tidur. Ya, dia datang dan mengerayangi mimpiku. Membuat tidurku tak selelap dulu.

Ah, kenapa lemah sekali imanku? Bukankah sudah berkali-kali begini? Kenapa masih saja belum pandai aku meracik obatnya?

Ah hantu, tolong enyahlah dulu. Biarkan aku mengepompong sedikit lebih lama. Jika saatnya tiba nanti, kau bolehlah mencoba datang lagi. Bahkan bukan sekedar lewat mimpi. Apa cukup bisa dimengerti?
🌹
🌹
-v3

Jumat, 22 Juni 2018

Tak kusangka. Ternyata aku sesensitif ini.

Saat ketidakberdayaanmu dijadikan dasar oleh orang lain untuk berlaku kasar padamu. Ketika itulah hatimu akan luka. Ya, rasanya perih.

Jika tiada keikhlasan untuk membantu, jika memang permintaan itu terasa sangat mengganggu, maka biarlah. Tak apa jika memang tak bersedia membantu. Tak mengapa jika harus kuusahakan sendiri semampuku.

Tapi tolong, jangan lukai hati ini dengan menunjukkan kekuatan dan memperjelas ketidakberdayaanku. Di sisi lain, bahkan untuk meneteskan air mata ini, aku harus sembunyi. Agar apa? Agar tak ada yang menertawai.

Tak bisakah aku memiliki ruang untuk mengekspresikan rasa ini? Kumohon. Sejenak saja. Sejenak saja tolong biarkan aku mengobati luka ini. Sendiri.

Sembunyi

Salah satu cara untuk melindungi hati yang sedang terluka adalah dengan bersikap sinis, tak acuh dan tak peduli. Jika kau temui orang seperti itu, jangan langsung menilainya buruk, apalagi membencinya. Sungguh jangan. Karena kau tak tahu, luka apa yang sedang coba ia sembunyikan.

Senin, 30 April 2018

Bangkai Munafik

Malam ini kubersyukur tiada kira. Allahku, terima kasih karena selalu sudi memanggilku lagi, lagi dan lagi. Menyapa kala hati mulai perlahan menjauh dari-Mu. Terima kasih karena masih sudi memberi bangkai munafik ini kesempatan untuk kembali. Memberi kesempatan untukku bisa sadar bahwa haluan kapalku telah jauh membelakangi-Mu. Terima kasih karena bangkai munafik ini masih Kau jaga melalui lisan-lisan mereka yang mulia.

Alangkah malang jika aku tak dipertemukan dengan orang-orang semacam mereka. Alangkah malang jika dulu aku memilih mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu untuk menjadi anak kuliahan kekinian. Dipenuhi huru-hara dan persaingan zaman yang tak berkesudahan.

Terima kasih Allahku. Terima kasih karena menyesatkanku di jalan yang benar. Terima kasih karena memperkenalkanku dengan perempuan berjilbab lebar yang kata orang mungkin terlihat sedikit lebai. Tapi di sinilah aku kini. Berbaur dengan mereka, menerima nasihat surga dari tutur lembutnya. Dan pada akhirnya, mengantarku untuk kembali memutar haluan kapalku. Memutar 180 derajat hingga tepat mengarah pada cahaya-Mu.

Baik. Akan kucoba sekali lagi. Ah tidak. Bahkan dua, tiga, atau mungkin seratus kali lagi. Sungguh, tak apa! Meski harus tertatih, kapal ini tak boleh berbelok lagi. Mohon bantulah ya Allah. Tak apa jika Kau beri riak gelombang sebagai teman. Sebagai pengingat bahwa jalan ini tak akan mudah. Tapi, jika boleh kumeminta, tolong jangan terlalu kuat. Karena aku belum percaya pada diriku sendiri.