Sabtu, 18 Mei 2019

Sandera

Hening. Cuma diam dan... ... "DIAM!! Jangan ada yang bergerak!!"
Aku merasakan cengkeraman kuat di bahu kanan. Seketika, tubuhku ditarik ke belakang dengan kekuatan sentakan yang mengejutkan. Saat itulah, tangan kekarnya mengalung di leherku. Pisau di tangan kirinya didekatkan ke wajahku. Tepat di dekat mata kiri. Untuk sesaat, aku lupa cara bernafas.
"Biarkan aku pergi, dan dia akan hidup!" bentaknya pada orang-orang yang mengelilingi.

Polisi-polisi gagah itu mematung di tempat. Menghitung segala kemungkinan, dan entah karena pertimbangan apa, mereka akhirnya saling mengirim kode, dan kemudian menurunkan senjata. Mungkin mereka tak mau menghadapi resiko kerugian lebih besar dari ini. Tidak lucu, jika nyawa anak komandan mereka juga ikut melayang bersama dua mayat yang kini tergeletak tak bernyawa. Di tambah lagi, penyergapan ini dibawah perintah langsung komandan mereka.

Tak terjadi apa-apa setelahnya. Satu detik... dua detik... tiga detik. Aku hanya bisa pasrah, karena perlawananku barusan terbukti sia-sia belaka. Seolah aku hanyalah lalat kecil yang siap dipitingnya kapan saja dengan karet gelang. Harus kuakui, aku terlalu takut sekarang.

"Tenang, aku tak akan menyakitimu. Percayalah, di sini, aku hanya korban." Bisikan itu kecil saja, tapi cukup untuk kudengar. Kulit leherku bahkan merasakan hawa nafasnya yang hangat. Aroma mint dari bisikannya menjalar ke hidungku, mengalir, dan bergerilya menuju otak. Membuatku merasakan sensasi aneh. Baru kusadari, tangannya dibahuku melonggar bersamaan dengan bisikan barusan. Apa yang terjadi padaku? Aku menjadi sandera seorang lelaki asing, dengan mata pisau yang hampir menyapa wajahku, dan aku malah merasakan... -Kenyamanan.
Ah, otakku terlalu kacau untuk berpikir.

🔪🔪🔪

Mereka semua mengarahkan pistol padaku. Tidak. Tidak mungkin begini endingnya. Aku bukan pelakunya. Aku hanya berada di waktu yang tidak tepat.

Tapi, sepertinya polisi ini tak akan mau berkompromi. Semua bukti seolah menuju pada satu orang. Dan itu, aku. "Berpikirlah boi, berpikir!" Otakku memaki dengan liar.

Entah dorongan energi dari mana, seperti kecepatan cahaya, tiba-tiba perempuan ini berada dalam rangkulanku. Lebih tepatnya, dalam cengkeramanku. "DIAM!! Jangan ada yang bergerak!" Adrenalin mengambil kendali tubuhku.
Perempuan ini menggigil, aku bisa merasakan ketakutannya. Kenapa aku jadi benar-benar seperti orang jahat? Tuhan, bantu aku. Ini bukan aku.

Polisi-polisi ini nampak tak bergeming, tak ada isyarat mereka akan mundur. Baiklah, sepertinya tak ada pilihan.
"Biarkan aku pergi, dan dia akan hidup!" Cengkeramanku mengencang bersamaan dengan pisau yang kuarahkan tepat ke matanya. Aku bisa mencium aroma mawar merebak lembut dari rambut perempuan ini. Jika saja situasinya lain, tentu aku bisa berkenalan dengan lebih layak.
Ah, lupakan! Tak ada waktu.

Tapi hei, dia terdiam. Dari ujung mata pisau ini, pantulan wajahknya terlihat lumayan jelas. Perempuan ini menangis. Satu bulir air mengalir di pipinya, dan jatuh tepat di lenganku yang melingkari lehernya dengan kasar. Tetesan bulir itu terasa hangat. Aku tak tega Tuhan, aku belum pernah seegois ini sebelumnya.

Bersamaan dengan usahanya memberontak, aroma mawar lembut itu makin mengganggu hidungku, mengirim rasa bersalah yang semakin besar.
"Tenang, aku tak akan menyakitimu. Percayalah, di sini, aku hanya korban."

Aku tak yakin dia bisa mendengarku.

-v3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar